Gerus Ekspor Komoditas RI, Pemerintah Harus Waspadai Kampanye Hitam

Buruh memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di areal perkebunan sawit
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA – Pemerintah diminta mewaspadai penurunan daya saing ekspor komoditas alam Indonesia dalam jangka panjang. Akibat serangan kampanye hitam yang menghantam permintaan konsumen dan biaya pokok produksi. 

Kata Bea Cukai soal Sritex Dapat Izin Lanjutkan Kegiatan Ekspor Impor

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengungkapkan, kampanye hitam itu dijalankan secara terstruktur, sistematis, dan masif. serangan itu terjadi khususnya pada komoditas sawit Indonesia.

Dia menjelaskan, kampanye hitam kepada komoditas alam seperti sawit dan produk kehutanan di Indonesia sudah berlangsung semenjak 1980-an. Seperti contoh sawit, ada kekhawatiran produsen minyak nabati non sawit seperti minyak kedelai dan bunga matahari yang sulit bersaing dengan produktivitas minyak sawit.

Meneropong Masa Depan Pasar Komoditas Indonesia di Situasi Global Tak Menentu, Investor Harus Apa?

“Kampanye hitam menggunakan isu yang mengada-ada dan berlebihan. Beragam isu tadi harus diwaspadai karena dapat menekan daya Indonesia di pasar internasional,” ujar Tungkot dikutip dari keterangannya, Jumat, 30 Juli 2021.

"Harus diingat faktor selera masyarakat dan biaya pokok produksi ini menjadi jantung daya saing. Kampanye hitam berupaya menghantam melalui dua faktor tadi,” paparnya.

Ekspor Perdana PT New Kalbar Processors, 83,5 Ton Karet Remah Senilai Rp2,4 Miliar Tembus Pasar Jepang

Menurutnya, pola dan isu kampanye hitam berupaya memengaruhi perilaku orang supaya tidak lagi menggunakan komoditas alam yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia. Kampanye ini membidik negara-negara konsumen seperti di Eropa, Tiongkok, dan India. 

Misalnya, dimunculkan kampanye palm oil free atau bebas minyak sawit di sejumlah produk makanan. Kampanye hitam ini didukung beragam isu yang memojokkan kelapa sawit seperti merusak ekosistem lingkungan, pembakaran secara masif hingga isu eksploitasi masyarakat lokal. 

“Memang, jangka pendek dampak kampanye ini belum dirasakan. Akan tetapi secara jangka panjang haruslah diwaspadai karena masyarakat berpotensi meninggalkan produk-produk alam nasional. Kalau produk sudah ditinggalkan, sangat sulit untuk mengajak orang kembali,” ujar doktor lulusan IPB ini. 

Sementara itu terkait biaya pokok produksi akan meningkat sebagai dampak kampanye hitam, Tungkot Sipayung menguraikan, sejumlah NGO memaksakan tuntutan kepada perusahaan dengan kedok isu lingkungan dan sosial. Tuntutan ini dikemas sangat rapi dengan alasan prinsip sustainability. Padahal, kewajiban menjalankan tuntutan ini membuat biaya pokok produksi bertambah. 

Tungkot meminta pemerintah dan pelaku industri mewaspadai efek jangka panjang kampanye hitam LSM ini. Lantaran, dampak kampanye sudah terlihat seperti penggunaan label ‘No Palm Oil’ di dalam negeri hingga usaha memberikan tekanan-tekanan kepada lembaga-lembaga sertifikasi nasional maupun internasional. 

Lebih lanjut jelas Tungkot, yang harus diwaspadai adalah jejaring LSM asing yang beroperasi di Indonesia yang digunakan oleh kepentingan asing untuk menghantam Indonesia. 
  
“Karena banyak LSM lokal dan asing yang tidak punya legalitas badan di Indonesia. Pemerintah memiliki legalitas untuk membekukan ormas melalui perpu pembubaran/UU ormas. Apapun itu pemerintah harus lebih tegas terhadap LSM yang sudah membuat pemerintah repot,” tambahnya.

Merespons hal tersebut, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan RI Kasan Muhri menjelaskan, maraknya kampanye negatif ditujukan untuk menekan daya saing Indonesia di pasar internasional. Karena tingginya produktivitas komoditas dalam negeri seperti sawit yang menjadi ancaman bagi industri yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa. 

“Sebenarnya, hambatan non tarif ini bagian persaingan dagang. Sawit, misalnya, ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola. Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya  sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” jelas Kasan.

Kasan menjelaskan bahwa kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6 persen sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh karena menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.

Meski demikian, dia mengakui bahwa di pasar internasional ekspor sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan dari hambatan non tarif.

Baca juga: Vaksinasi Percepat Pemulihan Ekonomi, Bos BI Ungkap Buktinya

Saat ini, hambatan utama perdagangan  sawit masih berasal dari kebijakan non-tarif terutama di Uni Eropa. Maraknya kampanye negatif ditujukan menekan daya saing sawit. Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa. 

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menegaskan, kampanye negatif  dengan kedok lingkungan selama ini adalah bagian politik dagang internasional. Tujuannya negara importir bisa membeli CPO dengan harga murah. 

Fakta lain yang perlu diketahui bahwa isu kampanye negatif tentang sawit berbanding lurus dengan impor dari negara-negara UE.

Karena itu, Gulat menyatakan, Indonesia harus berani menyerang apabila sawit terus ditekan negara lain. Ibaratnya, 'berhenti menjadi penjaga gawang' lalu beralih menjadi penyerang. Harus dipahami bahwa sebagian besar minyak kanola dan minyak bunga matahari dihasilkan oleh petani lokal di Eropa. 

“Tak terbantahkan bahwa kampanye negatif tentang sawit bagian politik dagang. Produktivitas sawit yang jauh lebih tinggi membuat penggunaan lahan jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya. Kalau sawit di-phase out akan memicu deforestasi lebih tinggi untuk memenuhi  kebutuhan dunia,” tambah kandidat Doktor Lingkungan ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya