Dunia Usaha di Jabar Anjlok Imbas PPKM Darurat, Apindo: Ruwet
- VIVA/Adi Suparman (Bandung)
VIVA – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa Barat yang berlangsung dari 3 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021. Kebijakan ini dinilai telah kembali membuat penurunan luar biasa pada sektor perekonomian dan dunia usaha.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik menjelaskan keluhan dari berbagai daerah mulai bermunculan.Â
"Pemantauan PPKM sampai hari ini: Ruwet. Apindo Jabar menerima banyak keluhan dari anggota Apindo di berbagai daerah. Keluhan tersebut terkait adanya penerapan PPKM dengan perbedaan persepsi tajam di lapangan," ujar Ning Wahyu di Bandung, Jumat 9 Juli 2021.
Baca juga: Viral Polisi Dikeroyok Geng Motor di Cilandak Jaksel
Menurutnya masih ada kesalahpahaman petugas yang menyekat pegawai yang diwajibkan masuk kerja di perusahaan bidang esensial. Untuk diketahui, sektor esensial diberlakukan 50 persen maksimum staf Work from Office (WFO) dengan protokol kesehatan, dan untuk sektor kritikal diperbolehkan 100 persen maksimum staf WFO dengan protokol kesehatan.
Cakupan sektor esensial adalah keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina COVID-19, serta industri orientasi ekspor.
"Ada misalnya penerapan 50 persen operasional di perusahaan esensial, kemudian karyawan yang hendak bekerja ( termasuk 50 persen dari yang harus masuk) terkena penyekatan dan tidak bisa menembus sekat tersebut, sehingga terpaksa balik kanan. Padahal karyawan tersebut sangat dibutuhkan kehadirannya di kantor," katanya.
"Hal ini terjadi di beberapa tempat, misalnya di Depok dan Bogor. Jadi apa syarat mereka boleh melintasi sekat tersebut? Ini jadi ruwet, karena enggak diatur dengan jelas," tambahnya.
Kemudian, lanjut Ning, terjadinya perbedaan persepsi dalam redaksi instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 18/2021.
“Untuk poin e, dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen staf hanya di fasilitas produksi/pabrik, serta 10 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional," katanya.
Lanjut Ning, produktivitas perusahaan banyak yang harus mengejar ekspor agar tetap menyeimbangi kebutuhan gaji karyawan di tengah situasi sulit di PPKM Darurat.Â
"Perusahaan ini juga sudah memiliki IOMKI, dan mereka perusahaan esensial, yang kemudian bekerja menerapkan 2 shifts, dimana shift pertama 50 persen, shift kedua 50 persen. Dan mereka menerapkan prokes. Bukankah dengan 50:50 seperti itu, harusnya tidak menjadi masalah dikarenakan tidak terjadi kepadatan karyawan dalam satu site dan satu waktu bersamaan?," terangnya.
Menurut Ning, di instruksi Mendagri tersebut, tidak dituliskan adanya larangan diberlakukannya shift. Tetapi perusahaan-perusahaan ini disidak dan kemudian berurusan dengan hukum.
"Dari sini saya menyimpulkan bahwa masih terjadi ketidaksepahaman dalam menerjemahkan instruksi Mendagri secara lintas instansi, lintas daerah sehingga penerapan di lapangan berbeda dari satu dan lain daerah," tegasnya.
Ning memastikan pihaknya memahami kondisi saat ini sebagai upaya mempercepat menangani pandemi COVID-19 cepat berakhir. "Kami paham bahwa kondisi yang ada sekarang betul - betul darurat dan kami mendukung. Namun dalam pelaksanaannya mohon untuk dilakukan secara seragam," terangnya.
Pengusaha, lanjut dia, juga mengalami dampak lain dari PPKM ini. Salah satunya terkait kesulitan pengusaha dalam mendapatkan material bahan baku, dikarenakan jalan-jalan disekat.
“Sehingga susah sampai on time, selain mereka harus memutar dan sebagainya sehingga menjadikan harga bahan baku naik. Dengan semua kesulitan pengusaha ini, kami sudah semestinya mendapatkan keringanan untuk membuat kami tidak semakin terpuruk," tambahnya.