Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal 2022 Harus Lebih Akurat
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah merumuskan desain asumsi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2022 yang lebih tepat dan akurat.
Menurutnya, hal ini penting mengingat perekonomian domestik ke depan masih akan menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diproyeksi akan mengalami tekanan yang luar biasa.
"Dalam ketidakpastian ekonomi di akibat kondisi pandemi COVID-19, tentunya pemerintah perlu membuat langkah-langkah taktis agar ekonomi bisa segera berputar. Di sisi lain, keuangan negara juga harus aman dan dapat meningkatkan confident level pasar," kata Said dalam keterangan tertulisnya, Selasa 27 April 2021.
Baca juga: 9 Pos Penyekatan Mudik Disiapkan di Pintu Masuk Kota Semarang
Untuk itu, Said berharap bahwa upaya kebijakan pemerintah harus diarahkan agar perekonomian bisa kembali bangkit dan pulih. Mengacu pada Undang-undang No. 2 tahun 2020 tentang Perppu No. 1 tahun 2020, pemerintah memiliki tiga tahun anggaran untuk membuka defisit APBN lebih dari tiga persen PDB.
Menurut Said, tahun 2022 nanti adalah waktu terakhir bagi pemerintah memanfaatkan kebijakan pelebaran defisit. Artinya, pada tahun 2023 defisit APBN akan kembali mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003, yakni tidak lebih dari tiga persen.
Karena itu, Said berharap agar desain ekonomi makro yang dibuat pemerintah harus efektif dan terukur, sehingga bisa menaikkan iklim ekonomi yang kondusif dan menjamin postur keuangan negara yang kredibel dan akuntabel.
"Ini kesempatan terakhir bagi pemerintah untuk memompa belanjanya agar menyumbang lebih besar kue pertumbuhan ekonomi berkualitas secara berkelanjutan," ujar Said.
Said mengakui bahwa upaya mempercepat pemulihan ekonomi tidaklah mudah, sehingga membutuhkan ekstra effort dari pemerintah. Sebab, sejumlah hambatan baik di level nasional maupun global masih akan terjadi, seperti misalnya potensi lonjakan pandemi COVID-19 sebagaimana yang dialami India yang mengalami gelombang kedua.
"Fenomena serupa saya jumpai di Indonesia. Seiring makin tingginya mobilitas warga, disiplin protokol kesehatan mulai menurun," kata Said.
Dia menambahkan, anggapan bahwa pascavaksinasi membuat seseorang langsung kebal terhadap COVID-19 adalah kekeliruan. Oleh sebab itu, Satgas COVID-19 harus melakukan edukasi, dan penegakan disiplin protokol kesehatan terus menerus.
"Kita jangan lengah meskipun tren kasus COVID-19 di Indonesia terus menurun, namun jumlah kematian harian masih diatas 2,7 persen, padahal standar WHO di bawah 2 persen," ujar Said.
Selain COVID-19, penghalang pertumbuhan ekonomi dipicu oleh melambatnya laju sektor riil. Pembatasan gerak sosial akibat penegakan protokol kesehatan menjadi kendala produktivitas sektor riil, khususnya UMKM. Sebab, dampaknya bagi UMKM memang langsung dan nyata, yaitu adanya lonjakan tingkat kemiskinan dan pengangguran.
"Perlu ada intervensi khusus terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Bahkan, untuk sekedar meraih ke posisi seperti capaian di tahun 2019, tetap dibutuhkan beberapa intervensi program multi years. Itu pun harus dengan perencanaan yang akurat serta efektif dalam implementasinya," ujarnya.