Harga Cabai Rawit Mahal, Kementan Jelaskan Alasannya
- ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
VIVA – Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan, lonjakan harga cabai rawit yang terus terjadi hingga saat ini bukan disebabkan oleh tidak berproduksinya para petani cabai rawit di Indonesia.
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga tengah cabai rawit, Jumat, 12 Maret 2021 sebesar Rp77.100 meskipun per kilogram di tingkat pasar sudah di atas Rp100.000 per kilogram.
Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto menjelaskan, kondisi ini lebih dipicu cuaca ekstrem yang menyebabkan peningkatan serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT).
Ini menurutnya yang menyebabkan kerusakan tanaman dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi, sehingga pasokan cabai rawit berkurang dan memicu kenaikan harga.
Karena itu, dia menegaskan bahwa penyebab kenaikan dikarenakan tidak adanya produksi adalah keliru. Sebab, produksi tetap dilakukan dengan tetap menanam cabai rawit.
"Produksi tetap ada, petani tetap menanam cabai rawit walaupun memang ada penurunan luas tanam sebagai akibat dari harga sepanjang tahun 2020 yang kurang kompetitif," tegas dia dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 12 Maret 2021.
Baca juga: Jejak Aliran Hakekok Balakutak, Mandi Bugil Bareng dan Kawin Gaib
Prihasto juga menjelaskan, berdasarkan data series produksi lima tahun terakhir, produksi cabai rawit pada Desember-Februari adalah bulan waspada karena produksi cenderung menurun.
Untuk saat ini, ditegaskannya diperburuk dengan adanya cuaca ekstrem La Nina yang semakin menyebabkan produksi terganggu, seperti bunga rontok yang menyebabkan gagal berbuah.
Proses pemasakan buah menjadi lebih lama karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Masa produktif tanaman juga menjadi lebih pendek, yang biasanya 12-20 kali petik saat ini hanya 8-12 kali petik.
"Karena pematangan buah menambah hari petik yang biasanya 4 hari bisa 7 sampai 8 hari per sekali petik. Tak hanya itu, musim hujan juga meningkatkan serangan OPT seperti virus kuning, antraknosa, lalat buah, dan lain sebagainya," ujar dia.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dia mengingatkan, serangan OPT terbanyak adalah virus kuning 26 persen, Antraknosa 29 persen, Lalat buah 17 persen, virus keriting 16 persen, dan Thrip 12 persen dari luas pertanaman yang ada.
Dengan demikian, Prihasto menyatakan, secara nasional luas pertanaman cabai yang terkena serangan OPT saat ini mencapai angka 1.152 hektare dan puso 0,15 hektare.Â
Adapun virus kuning menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak produktif. Jika tanaman yang terserang masih bertahan, maka dipastikannya produktivitasnya menurun 20-30 persen.
Sedangkan serangan antraknosa dan lalat buah yang masif menurutnya mendorong petani untuk memanen buah atau cabai rawit sebelum waktunya sehingga kualitas buah menjadi turun.
Di sisi lain, total luas pertanaman cabai nasional yang terkena banjir dan puso pada Oktober-Desember 2020 seluas 431 hektare. Ini tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Sedangkan pada awal tahun ini, yaitu periode Januari sampai dengan Februari 2021 seluas 404,7 hektar yakni di Kalsel, Sumut, Sumbar, Sulteng, Kalbar, Jambi, Jatim, dan NTT.