Membedah Hak-Hak Pekerja yang Tercantum dari UU Cipta Kerja
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Empat Peraturan Pemerintah atau PP Klaster Ketenagakerjaan yang merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus digodok. Tim tripartit yang terdiri dari Serikat Buruh, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Pemerintah duduk bersama.
Dari empat aturan turunan itu, tiga di antaranya telah selesai dibuat, yaitu RPP tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), RPP tentang hubungan kerja, waktu kerja dan waktu istirahat serta PHK, dan revisi PP tentang pengupahan. Sementara, tentang pesangon pekerja masih dalam pembahasan.
Â
Ketua Biro Konseling dan Advokasi Serikat Pekerja Indofarma, Tri Okta Sulfa Kimiawan, mengatakan publik menanti RPP yang menjadi aturan turunan UU Cipta Kerja terutama Klaster Ketenagakerjaan. Menurutnya, ada beberapa hal yang masih menjadi perhatian, di antaranya menyangkut soal PHK dan pesangon pekerja.Â
"Kita di lapangan banyak mengamati dan memberikan masukan-masukan RPP ke konvederasi untuk dilakukan perubahan ke pemerintah. UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan lebih memberikan kepastian dan perlindungan ke pekerja," kata Tri saat webinar 'Implementasi Skema Baru PHK dan Pesangon dalam UU Cipta Kerja', dikutip Senin 14 Desember 2020.
Â
Menurutnya, data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2019 menyebutkan hanya 27 persen pengusaha yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003. Sisanya, 73 persen tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Bahkan, laporan World Bank yang mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS 2018 menyatakan 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon sesuai aturan, 27 persen pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima, dan 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.
Dengan kondisi tersebut, kata Tri, upaya yang harus dilakukan bukan hanya memperbaiki aturan atau regulasi. Namun sangat penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada pengusaha atau pemberi kerja untuk patuh dalam pembayaran pesangon pekerja sesuai ketentuan yang berlaku.Â
"UU Cipta Kerja menjadi angin segar dan mampu menjadi solusi dari masalah pesangon sehingga memberikan kepastian pembayaran pesangon bagi pekerja di sektor apapun. Meskipun jumlah pesangonnya lebih kecil, dari 32 menjadi 25 kali gaji, tapi ini lebih pasti untuk melindungi pekerja," jelas Tri.
Sekali lagi, dia menegaskan, pesangon adalah kewajiban pengusaha. Cepat atau lambat, pesangon harus dibayarkan. Maka, UU Cipta Kerja hadir menata aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjadi lebih baik. Regulasi memang penting namun kepatuhan menjalankan aturan jauh lebih penting.
Dengan begitu, UU Cipta Kerja bakal mampu meningkatkan iklim usaha yang kondusif, menciptakan lapangan kerja baru, dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa mengabaikan hak-hak pekerja yang semestinya.Â
Dengan UU Cipta Kerja diharapkan menguatkan kembali terkait kebijakan PHK yang telah diatur dalam kontruksi skema baru PHK dan Pesangon. Inti dari kluster ketenagakerjaan mengubah atau menghapus serta menetapkan dari beberapa ketentuan dari UU yang berlaku.
“Artinya Pemerintah berkomitmen memastikan pembayaran PHK dan kita berharap perusahaan tidak boleh abai terhadap pesangon yang telah menjadi hak para pekerja dalam melakukan PHK," ujar dia.
Sementara itu, dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya memang telah membedakan jenis dan banyaknya kompensasi yang didapatkan pekerja jika terjadi PHK tergantung dari alasan terjadinya PHK tersebut. Tapi, dulunya pekerja yang PHK terjadi karena mengundurkan diri secara sukarela tidak berhak atas uang pesangon.
Â
Akan tetapi, kini UU Cipta Kerja menegaskan bahwa dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon (UP) dan/atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima, tanpa membeda-bedakan berdasarkan alasan terjadinya PHK. Â
Â
"Sehingga, pekerja yang mengalami PHK baik karena mengundurkan diri atau karena alasan-alasan lainnya yang diatur dalam UU Cipta Kerja sama-sama berhak atas UP dan/atau UPMK dan UPH," ujarnya. (ren)