Belanja Modal Hulu Migas RI Jauh Tertinggal dari Irak dan Nigeria

Ilustrasi industri hulu migas RI (anjungan lepas pantai/offshore platform)
Sumber :
  • Dok. Pertamina

VIVA – Belanja modal atau capital expenditure dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia ternyata jauh tertinggal dari negara-negara seperti Irak, Angola dan Nigeria.

5 Investasi Favorit Gen Z dan Milenial, Ada Properti Hingga Kripto

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal, Yuliot, mengatakan hal itu di acara Konvensi Internasional Hulu Minyak dan Gas Indonesia 2020. Dia mengutip data fDi Markets 2020.

Berdasarkan data tersebut, dikatakannya, realisasi capex perusahaan sektor hulu migas Indonesia hanya mencapai US$462 juta. Jauh di bawah Irak yang mencapai US$4 miliar, Angola US$4,47 miliar dan Nigeria US$3 miliar.

Penjelasan OIKN soal Heboh Aguan Investasi di IKN Demi Selamatkan Jokowi

"Jadi ini kondisi aliran investasi inflow di bidang oil and gas secara perbandingan kita relatif terbatas," kata dia secara virtual, Selasa, 2 Desember 2020.

Baca juga: Luhut: Insya Allah Vaksin COVID-19 Siap di Bulan Desember 2020

Kelas Menengah Wajib Tahu! Ini 6 Kebiasaan Orang Super Tajir Kelola Keuanganya

Di sisi lain, dia melanjutkan, dari sisi produksi, sektor migas Indonesia selalu menurun dari tahun ke tahun. Pada 2000, produksinya mencapai 1,4 juta barel per hari, namun pada 2018-2019 hanya sisa 700 ribu barel per hari.

Berbanding terbalik dengan produksi, konsumsi migas di Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan. Hingga 2019 dikatakannya konsumsi migas sudah mencapai 1,7 juta barel per hari.

Akibat kesenjangan produksi dan konsumsi, secara nominal ekspor migas Indonesia hanya menjadi sekitar US$11,7 miliar, sedangkan impor mencapai US$21,8 miliar, sehingga defisit mencapai lebih dari US$10 miliar.

Oleh sebab itu, Yuliot menekankan, adanya persoalan keengganan investasi perusahaan di sektor migas. Penyebabnya adalah tumpang tindihnya regulasi dan perizinan Indonesia di tingkat pusat maupun daerah.

"Jadi kita lihat persoalan kita dalam peningkatan kegiatan investasi di migas ini penyebabnya adalah dengan adanya persoalan cukup banyaknya regulasi yang mengatur kegiatan di hulu migas," ujarnya.

Karenanya, pemerintah menggunakan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk mengurai persoalan regulasi dan perizinan yang tumpang tindih tersebut, termasuk di sektor migas. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya