Masih Andalkan Bahan Bakar Fosil, PLN Terjebak pada Siklus Utang

Aktivitas pekerja di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA – Berbagai perusahaan pembangkit dan penyalur listrik di tataran global telah lama mengubah cara mereka berbisnis. Namun, hal tersebut nyatanya belum dilakukan oleh PT PLN (Persero), yang masih menggunakan cara-cara lama dalam menjalankan bisnisnya.

Posisi Utang Luar Negeri RI di Kuartal III-2024 Capai US$427,8 Miliar, Tumbuh 8,3%

Peneliti dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi, mengungkapkan PLN sejauh ini cenderung terpaku pada menu opsi-opsi pembangkitan, ketimbang membuat perencanaan sistem kelistrikan secara holistik yang dapat memberikan solusi sistem yang komprehensif.

"Hal ini membuat PLN terjerembab pada siklus utang yang tak kunjung berakhir," kata Elrika dalam keterangan tertulisnya, Jumat 4 September 2020.

Jaga Transparansi Kurator di Kasus Pailit Sritex, BNI Usul Bentuk Panitia Kreditor Sementara

Baca Juga: Bahaya yang Diciptakan dari Berdirinya Dewan Moneter di Indonesia

Sebagaimana perusahaan listrik dunia lainnya, PLN mengalami penurunan pendapatan yang tajam karena konsumsi listrik turun hingga 20 persen di saat-saat tertentu akibat pandemi COVID-19.

Cara BRI agar Tak Salah Hapus Utang UMKM Petani hingga Nelayan yang Ditetapkan Pemerintah

Namun, dia menilai bahwa akar masalah PLN lebih dalam dari sekadar dampak akibat pandemi COVID-19. Krisis senyap PLN mencerminkan disfungsi perencanaan dan tata kelola, yang membuat perusahaan mengalami kelumpuhan strategis dan tidak dapat mengubah arah atau beradaptasi dengan realitas pasar yang baru.

"Walau sudah terlihat berbagai tanda peringatan, para manajer senior masih menjalankan bisnis listrik dengan pola pikir yang kuno. Sayangnya, model bisnis 2010 tersebut sudah tidak dapat menyelamatkan PLN dari jebakan utang yang kian dalam," ujar Elrika.

Begitu pula dengan pola pemikiran ekonomi ekstraktif yang hanya memperdalam ketergantungan pada bahan bakar fosil, hanya karena sumber dayanya masih tersedia.

Elrika menegaskan, harus ada kemauan untuk mengajukan pertanyaan sulit ketika angka-angka pada laporan keuangan PLN sudah menunjukkan tanda bahaya. Menurutnya, ini merupakan tanda bahwa rencana pembangunan sistem kelistrikan berbasis sumber daya fosil ini sudah ketinggalan zaman di era kemajuan teknologi saat ini.

Laporan IEEFA juga menyebut, sebagian besar masalah PLN saat ini bermula dari rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 35 gigawatt ke pasokan listrik Indonesia yang dirancang dan dilaksanakan dengan buruk.

"Program 35 GW adalah janji politik sebagai wujud ambisi Presiden Joko Widodo, untuk melistriki Indonesia sepenuhnya. Tidak ada yang salah dengan ambisinya, tapi proses perencanaan dan pelaksanaannya kurang akuntabel," ujarnya. (ren)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya