Tagihan Kerugian Ledakan Beirut Rp219 Triliun, Lebanon Minta Tolong

Beirut Lebanon usai ledakan dahsyat.
Sumber :
  • Maxar Technologies

VIVA – Ledakan dahsyat yang mengguncang Ibu Kota Lebanon, Beirut, pada 4 Agustus 2020, menimbulkan kerugian besar. Seorang penasihat pemerintah menyebut, Lebanon membutuhkan anggaran hingga US$15 miliar atau sekitar Rp219 triliun (kurs Rp14.600 per dolar AS).

Serangan Udara Israel Hancurkan Bangunan Bersejarah Warisan Era Ottoman di Lebanon

Ledakan dahsyat yang bisa dirasakan hingga ke Siprus, menewaskan lebih dari 100 orang, melukai ribuan orang dan menyebabkan 300 ribu penduduk kota Beirut kehilangan tempat tinggal. Insiden ini diduga dipicu oleh tiga ton amonium nitrat yang disita pada 2013 dan disimpan secara tidak benar di gudang pelabuhan kota Beirut.

Selama beberapa bulan terakhir, Lebanon telah mengalami kesengsaraan ekonomi, jatuhnya nilai mata uang, dan meningkatnya kerusuhan sipil. Selain itu, salah urus keuangan pemerintahan dan korupsi terjadi di seluruh negeri.

Israel Akan Dapat Dukungan Jauh Lebih Besar dari Trump, Menurut Pengamat

Baca juga: Facebook, TikTok hingga Apple Jadi Agen Pemerintah Pungut Pajak 10%

Oktober 2019, lebih dari satu juta penduduk berunjuk rasa mengarahkan kemarahan pada layanan pemerintah yang tidak efisien. Terjadi pula korupsi dalam sistem politik, campur tangan negara-negara asing seperti Iran, dan krisis ekonomi terburuk sejak Lebanon bangkit dari perang pada 1990.

Komandan Tinggi Hizbullah Tewas di Tangan Tentara Israel

Seorang ekonom dan penasihat keuangan presiden, Charbel Cordahi, memperkirakan, biaya kerusakan akibat ledakan termasuk kompensasi membutuhkan anggaran sekitar US$15 miliar.

Menurutnya, hingga 70 persen dari jalur perdagangan Lebanon melalui pelabuhan Beirut. Lumpuhnya pelabuhan itu, berarti juga melumpuhkan perekonomian di Lebanon.

"Bandara dan pelabuhan lain di negara ini hanya dapat memfasilitasi 30-40 persen dari perdagangan, dan membuka perbatasan dengan Suriah hanya dapat memfasilitasi 20 persen lainnya," ungkap Cordahi, dikutip Arab News, Jumat 7 Agustus 2020. 

"Ini berarti, setidaknya impor senilai US$5 miliar tidak akan sampai ke Lebanon dan ekspor senilai US$2 miliar tak bisa dikirim selama delapan bulan mendatang. Lebanon akan mengalami kerugian sekitar 15 persen dari produk domestik bruto," imbuhnya.

Dia menambahkan bahwa tanpa program bantuan internasional, Lebanon tidak dapat menghadapi 'bencana' ini. Apalagi, ledakan tersebut menambah penderitaan warga Lebanon yang hampir separuhnya kini hidup di bawah garis kemiskinan. 

Protes warga juga kerap ditujukan kepada pemerintah dan kelas politik, karena krisis ekonomi yang diperparah oleh pandemi COVID-19.

Prioritas pemerintah Lebanon lainnya adalah memulihkan ketahanan pangan. Sembari juga memastikan para penduduk yang kehilangan rumah mereka bisa dibangun kembali secepat mungkin. Menjaga pasokan medis dan mengurangi dampak lingkungan juga akan menjadi prioritas otoritas setempat.

"Kami membutuhkan negara lain untuk membantu kami membangun Beirut kembali. Kami akan berterima kasih jika setiap negara membangun kembali jalan atau lingkungan di Beirut, seperti yang mereka lakukan setelah agresi Israel 2006. Itu cara terbaik," kata Sekjen Higher Relief Council, Mohammed Kheir.

Sementara itu, Gubernur Beirut Marwan Abboud, mengimbau masyarakat internasional dan diaspora yang ada di Lebanon untuk turut membantu. Pejabat kesehatan mengatakan negara itu juga kekurangan peralatan medis, terutama barang-barang yang dibutuhkan untuk operasi besar dan berharap bantuan dari luar negeri akan mengisi kesenjangan tersebut.

Setelah ledakan, tawaran bantuan datang dari berbagai negara seperti Qatar, Prancis, Rusia, Iran Rusia, dan bahkan Israel yang secara teknis masih berperang dengan Lebanon. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya