Fakta-fakta Omnibus Law Cipta Kerja, Dari Pesangon hingga Jam Kerja
- U-Report
VIVA – Pemerintah sudah menyerahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR RI. Omnibus Law diklaim Pemerintah akan mendorong penciptaan lapangan kerja dan investasi asing ke dalam negeri.Â
Namun, rancangan undang-undang ini mendapat penolakan dari serikat pekerja Indonesia. RUU ini dinilai tidak berpihak kepada pekerja.Â
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal mengatakan, RUU itu telah menghilangkan prinsip kesejahteraan buruh. Beberapa prinsip tersebut di antaranya tidak adanya jaminan pekerjaan, perlindungan mengenai pendapatan bagi pekerja, dan hilangnya jaminan sosial.
Pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambah pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan. Berikut beberapa fakta terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
1. Uang Pesangon
Berdasarkan pasal 156 draf Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta, disebutkan pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja ketika melakukan pemutusan hubungan kerja.
Di pasal 157 RUU tersebut dijelaskan pula dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap yang diberikan pekerja/buruh dan keluarganya.
Berikut ketentuan besaran pesangon yang terkena PHK dalam RUU Cipta Kerja:Â
a. Pesangon masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;Â
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upahÂ
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upahÂ
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upahÂ
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upahÂ
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upahÂ
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upahÂ
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah
2. Uang Penghargaan Pekerja Dipangkas
Pemerintah mengubah skema pemberian uang penghargaan kepada pekerja yang terkena PHK. Dibanding dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, skema pemberian uang penghargaan Omnibus Law justru lebih kecil. Adapun detail besaran uang penghargaan adalah sebagai berikut:Â
a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upahÂ
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upahÂ
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upahÂ
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upahÂ
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upahÂ
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upahÂ
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih, 8 bulan upahÂ
Padahal, di dalam UU No 13 Tahun 2003, besaran uang penghargaan terbagi menjadi 8 periode. Dengan periode masa kerja paling lama adalah 24 tahun atau lebih, dengan uang penghargaan sebesar 10 bulan upah.
3. Pekerja Kontrak Seumur Hidup
Pemerintah menghapus pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur mengenai jenis pekerja kontrak.
Menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media Komite Serikat  Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono, dengan dihapusnya pasal tersebut, maka penggunaan pekerja kontrak yang dalam UU disebut perjanjian kerja waktu tertentu bisa diperlakukan untuk semua jenis pekerjaan.
"Dengan dihapuskannya pasal 59, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup," katanya.Â
Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan pekerja kontrak hanya dapat digunakan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Seperti, pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
4. Hilangnya Jaminan Sosial, Kesehatan dan Pensiun
"Dengan karyawan kontrak dan outsourcing, tak ada jaminan sosial pensiun. Pekerja yang haid, sakit, dipotong gaji," kata Presiden KSPI, Said Iqbal.
5. Aturan Mengenai Jam Kerja yang Dianggap Eksploitatif.Â
Pada draf RUU Cipta Kerja ketentuan pasal 77 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 diubah menjadi tiga poin aturan saja.
Tiga poin itu sebagai berikut:Â
1. Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.Â
2. Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1Â paling lama 8 jam 1Â hari dan 40Â jam 1Â minggu.Â
3. Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.Â
Kemudian, draf RUU Cipta Kerja memasukkan satu pasal baru yang dinamai pasal 77 A. Pasal ini mengatur tiga hal, salah satunya memperbolehkan pengusaha memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan pada pasal 77 ayat (2) dalam draf RUU Cipta Kerja.