Indonesia di Bawah Bayang-bayang Resesi Ekonomi
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro
VIVA – Laporan Prospek Ekonomi Dunia milik Dana Moneter Internasional (World Economic Outlook International Monetary Fund/IMF) menyebutkan perekonomian global tumbuh pada laju paling lambat atau resesi ekonomi sejak krisis keuangan 2009.
Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, memandang resesi ekonomi akan menyebar sehingga menyebabkan risiko yang sangat serius. Sebab, proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global sepanjang tahun ini hanya 3 persen, atau turun dari perkiraan Juli 2019 yang sebesar 3,2 persen.
"Kami masih memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia masih bisa tumbuh di kisaran 3,9 persen pada awal tahun ini. Tapi, kemudian direvisi menjadi 3,7 persen, 3,5 persen serta 3,2 persen. Terakhir, kami merevisi kembali menjadi 3 persen pada bulan Oktober lalu," kata Georgieva.
Ia pun menyebut biang keladi atas resesi ekonomi yang terjadi adalah perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, kisruh Uni Eropa dan Inggris terkait Brexit, dan krisis geopolitik lainnya.
Resesi merupakan periode jatuhnya seluruh kegiatan ekonomi secara signifikan dan berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang tampak melalui penurunan PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir maupun eceran.
Penurunan PDB riil menjadi indikator paling penting dan menjadi bobot penentu yang cukup besar saat resesi ekonomi terjadi. Hal senada diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat rapat perdana dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin, 4 November 2019.
Menurutnya, hal itu masih tak terlepas dari persoalan perang perdagangan antar negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa dengan China sejak awal 2019.
Perang perdagangan itu membuat volume perdagangan dunia pada tahun ini hanya tumbuh 1,1 persen atau pertumbuhan terlemah sejak krisis ekonomi 2008-2009.
"Dengan demikian pertumbuhan volume dagang dunia hanya 1,1 persen. Ini adalah pertumbuhan perdagangan global terlemah sejak krisis 10 tahun lalu. Risiko global yang perlu kita waspadai adalah perang dagang," ungkapnya, seperti dikutip dari VIVAnews.
Meksi begitu, dia memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa akan tumbuh di atas lima persen, meski tidak terlalu kuat dibanding tahun-tahunnya.
Kondisi itu dipastikannya lebih baik ketimbang pertumbuhan negara-negara maju maupun emerging market lainnya.
"Amerika Serikat yang meski kuat pertumbuhan ekonominya nyatanya tak terelakan mengalami perlambatan. Jerman sempat negative growth meski terakhir tumbuh 0,4 persen, China yang biasanya 7 persen sekarang dekati 6 persen atau sekitar 5,5 persen," ungkap dia.
"Indonesia masih stabil di atas 5 persen, Singapura sempat negative growth dan terakhir diperkirakan 0,1 persen. Vietnam masih cukup tinggi, Eropa, Inggris, Jepang, India bahkan merosot di kisaran 5 persen. Thailand, Filipina terpengaruh juga. Jadi itu perlu kita waspadai," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.