Faisal Basri: Rupiah Menguat karena Utang
- VIVA/Lucky Aditya
VIVA – Tren penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, terus terjadi sepanjang November 2018. Mata uang Garuda mampu menguat di bawah Rp15.000 sejak 2 November hingga saat ini, yang bertengger di posisi Rp14.535, berdasarkan data Kurs Referensi Jisdor Bank Indonesia.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri mengungkapkan, penguatan rupiah tersebut murni, bukan karena usaha pemerintah dalam memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia, melainkan semata atas utang yang terus ditarik.
Faisal membuktikan, kenaikan utang tersebut tercipta dari derasnya aliran modal asing atau foreign direct investment yang masuk beberapa hari ke belakang dari sisi portofolio atau surat berharga negara. Hal itu, kata dia, digunakan salah satunya untuk rekonstruksi fisik beberapa kota yang terdampak bencana alam, seperti salah satunya di Palu.
"Tahun ini pemerintah antisipasi, utang lebih banyak. Palu itu rekonstruksinya pakai utang, karena uangnya habis untuk infrastruktur. Jadi, fisik lebih berharga dari manusia," kata Faisal di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu 28 November 2018.
"Kelihatan utang pemerintah itu naik, tarik utangnya lebih banyak, sehingga ikut membantu nilai tukar rupiah. Jadi, rupiah membaik bukan karena darah keringat kita, tetapi utang," tegasnya.
Di sisi lain, lanjut dia, aliran modal asing yang masuk ke portofolio tersebut memang dalam jangka pendek bisa menguatkan mata uang suatu negara, karena adanya aliran modal yang masuk. Namun, ditegaskannya, selama defisit transakai berjalan tidak dibenahi secara struktural, maka ruang pelemahan rupiah masih terus terbuka.
"Karena itu, fenomena jangka pendek rupiah bisa menguat. Tahun depan jangka menengah, 99 persen rupiah akan melemah. Tinggal persoalannya melemahnya berapa banyak," papar dia.
Karena itu, Faisal menegaskan, persoalan defisit transaksi berjalan itu harus benar-benar dibenahi pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Solusinya, bukan hanya pada persoalan perdagangan barang dan jasa, melainkan akibat rapatriasi modal asing yang ditarik investor ke negaranya sendiri.
Repatriasi tersebut, diungkapkannya bahwa saat ini mencapai US$20 miliar. Sementara itu, defisit perdagangan barang dan jasa masing-masing sebesar US$2,2 miliar dan US$2,7 miliar. Sehingga, ditegaskannya, pemerintah harus bisa membuat modal asing tersebut bisa dibenamkan sebagian di Indonesia.
"Jadi, itu enggak diomongin oleh pemerintah. Jadi, bukan ekspor-impor. Seperempatnya sajalah, US$5 miliar dia (pebisnis) taruh di sini," papar Faisal. (asp)