Rupiah Merosot Lagi, Ekonom: Ini Bukan Kegagalan BI

Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang hari ini dibandrol harga rata-rata di atas Rp14.600 per dolar AS, tidak bisa dikatakan sebagai kegagalan Bank Indonesia membangun kepercayaan pasar menghadapi sentimen eksternal.

Rupiah Melemah Lagi ke Rp 16.410/US$ Merespons Data Ekonomi AS

Sebab, kata dia, pelemahan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terhadap negara-negara emerging, meskipun pelemahan hari ini menjadi level yang terendah sejak September 2015.

Karenanya, kata David, level pelemahan tersebut tidak bisa dikatakan akibat sentimen negatif pasar terhadap BI.

Rupiah Melemah ke Rp 16.400/Dolar AS, Sri Mulyani Ungkap Biang Keroknya

"Ini kan terjadi di hampir semua emerging market ya. Yang perlu dibandingkan sebetulnya bukan levelnya," tutur dia saat dihubungi VIVA, Jumat 24 Agustus 2018.

Buruk tidaknya pelemahan tersebut, lanjut dia, pada dasarnya harus dilihat berdasarkan periode yang sama dengan level yang terjadi di negara-negara lain secara year to date. Sebab, pelemahan rupiah pada hari ini terbilang moderat jika dibandingkan negara-negara lain.

Rupiah Melemah Lagi ke Level Rp 16.419 per Dolar AS

"Kita sebenarnya memang pelemahannya dibanding yang lain masih relatif moderat. Bahkan kalau kita bandingkan dengan Yuan China itu kan negara yang ekonominya relatif kuat ya, tapi mereka melamah juga 8,5 persen, kita kan sekitar 7,5 persen," ungkapnya.

Karena itu, dia menegaskan, pelemahan rupiah yang terjadi hari ini memang bukan akibat persepsi negatif pelaku pasar terhadap kondisi domestik Indonesia. Melainkan masih dipicu oleh normalisasi kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang membuat arus modal dari emerging market balik ke AS.

"Apalagi kemarin pidatonya Powell di Jackson Hall itukan mengkonfirmasi bahwa mereka masih akan menaikkan suku bunga walaupun sebelumnya pasar agak tenang karena Trump kurang setuju dengan apa yang dilakukan The Fed," ujar dia.

"Dia (Trump) bilang dolar terlalu kuat dan baiknya The Fed tidak terus naikkan suku bunga, tapi kan Bank Sentral AS independen terhadap pemerintah Amerika sendiri," lanjut dia.

Senada, Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede menilai, lemahnya rupiah pada dolar AS ke level Rp14.663 atau terendah sejak tiga tahun terakhir lebih dipengaruhi oleh ketidakpastian perang dagang AS dan China.

Selain itu, pelaku pasar pun masih menantikan pidato Jerome Powell dalam Jackson Hole symposium terkait arah kebijakan suku bunga bank sentral AS mempertimbangkan tren positif dari perekonomian AS.

"Sementara dari dalam negeri, pelebaran defisit transaksi berjalan pada tahun ini juga turut membebani rupiah," jelas Josua saat dihubungi VIVA, Jumat 24 Agustus 2018.

Untuk itu, agar pelemahan ini bisa di atas cepat, BI dan Pemerintah lanjut Josua harus melakukan beberapa langkah kebijakan khusus dalam mendorong masuknya devisa hasil ekspor ke dalam negeri.

Secara khusus di pasar valas, Bank Indonesia harus tingkatkan efektivitas penyediaan swap valas baik dalam rangka hedging dengan premi swap yang lebih efisien.

Sementara untuk kebijakan pemerintah perlu mendorong penerimaan ekspor dari sektor pariwisata serta upaya pembatasan impor barang-barang yang non-produktif serta penerapan kewajiban B-20.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya