Sri Mulyani Sebut Utang Rp396 T Dibuat Zaman Zulkifli Jadi Menteri

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap, kritikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifli Hasan, yang mengatakan pembayaran pokok utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 sebesar Rp400 triliun tidak wajar, alias sesat dan bermuatan politis.

Posisi Utang Luar Negeri RI di Kuartal III-2024 Capai US$427,8 Miliar, Tumbuh 8,3%

Dia menjelaskan, hal itu karena pembayaran pokok utang 2018 sebesar Rp396 triliun dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah itu, 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 atau sebelum Presiden Joko Widodo menjabat.

Tak sampai di situ, Sri pun menyebut bahwa Zulkifli pun juga adalah bagian dari kabinet pemerintahan saat itu.

Utang Luar Negeri RI Naik Jadi US$425,1 Miliar, BI: Masih Terkendali

"Pernyataan tersebut, selain bermuatan politis juga menyesatkan," kata Ani, panggilan akrab Sri Mulyani melalui akun resmi Facebooknya, Senin 20 Agustus 2018.

"Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?" lanjut dia.

Utang Luar Negeri RI Naik Jadi US$407,3 Miliar, BI: Masih Terkendali

Selain itu, Ani juga merespons pernyataan Zulkifli yang membandingkan pembayaran pokok utang pemerintah yang sebesar Rp400 triliun atau tujuh kali lebih besar dari Dana Desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.

Menurut dia, perbandingan tersebut tidak memiliki bukti dan ukuran yang wajar. Karena jumlah pembayaran pokok utang Indonesia pada 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Sehingga, perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat.

Sedangkan pada 2018, pembayaran pokok utang Rp396 triliun dan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya, kata dia, rasio yang baru ini sudah menurun dalam sembilan tahun sebesar 19,4 persen.

Bahkan pada 2019, kata Ani, anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen.

"Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi, ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?" tegas dia.

Adapun dari sisi perbandingan dengan dana desa, karena dana desa baru dimulai pada 2015, dikatakannya, mesti dibandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa pada 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat. Pada 2018, rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, bahkan pada 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali.

"Artinya, kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR," ungkap dia.

Karena itu, dia mempertanyakan, mengapa Ketua MPR membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar.

"Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar," tutur Ani.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya