Mengapa RI Tak Tunggu Tahun 2021 Ambil Alih Freeport
- VIVA.co.id/Arrijal Rachman
VIVA – Setelah penandatanganan HoA antara PT Inalum dan PT Freeport Indonesia, Kamis 12 Juli 2018,masih memunculkan pro kontra. Salah satunya antara lain, yakni soal mengapa Pemerintah Indonesia tidak menunggu sampai kontrak Freeport habis pada tahun 2021.
Disebutkan bahwa pemerintah tidak menunggu kontrak Freeport habis pada 2021, karena memang pada tahun tersebut pun, sebagaimana dirujuk pada Kontrak Karya, tambang Grasberg di Mimika tidak kembali ke Indonesia secara otomatis.
"Yang kembali gratis adalah tambangnya, sementara infrastrukturnya dan asetnya tidak bisa diambil gratis," kata Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid Minggu 15 Juli 2018.
Hal tersebut, kata dia, diterakan dengan jelas dalam kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (PTFI).
"Pasal 22 ayat 1 Kontrak Karya mngatur, jika perjanjian tidak diperpanjang, semua kekayaan milik perusahaan yang bergerak atau tidak brgerak yang terdapat di wilayah-wilayah proyek harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar tidak lebih rendah dari nilai buku," ujarnya.
Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan yang diaudit sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp84 triliun, dengan nilai tukar Dolar AS pada Rp14.000. Sementara itu, pemerintah juga harus membeli pembangkit listrik di lokasi yang nilainya sekitar Rp2 triliun.
"Dengan kata lain, jika menunggu kontrak berakhir dan tidak diperpanjang tahun 2021, pemerintah RI harus keluar dana sekurangnya Rp86 triliun," lanjutnya.
Karena itu, Freeport atau tambang Grasberg memang tidak bisa diambil gratis pada 2021. "Ini soal Kontrak Karya, bukan kontrak rumah atau ngusir maling dari rumah," kata dia.
Selain itu, Kontrak Karya juga memuat pasal yang bisa diinterpretasikan berbeda dalam hal perpanjangan kontrak, yaitu Pasal 31 ayat 2. Di satu sisi, PTFI bisa mnginterpretasikan berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun dan pemerintah tidak akan menahan dan menunda persetujuan perpanjangan secara tidak wajar.
Namun, jika pemerintah menafsirkan berbeda dan tidak memperpanjang kontrak, besar kemungkinan perbedaan interpretasi akan dibawa ke arbitrase internasional. Padahal, penyelesaian melalui arbitrase akan menyebabkan ketidakpastian operasi yang membahayakan kelangsungan tambang serta ongkos sosial ekonomi amat besar.
Karena itu, melalui divestasi saham, pemerintah akan mengakhiri rezim KK dan menggantinya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Indonesia lewat Inalum menguasai mayoritas saham PTFI dan PTFI akan membangun smelter dalam lima tahun dengan penerimaan pemerintah yang lebih tinggi.
Sementara itu, dana yang disebut dikeluarkan untuk divestasi yakni US$3.85 miliar atau sekitar Rp54 triliun akan lebih murah dibandingkan harus mengganti aset dn infrastruktur PTFI sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp84 triliun.
"Inilah jalan alot yang ditempuh tim perunding pemerintah untuk mengimplementasikan arahan Presiden Joko Widodo bahwa kedua pihak harus mendapatkan win win solution dan iklim investasi nasional tetap kondusif," kata dia. (asp)