Cerita Dahlan Iskan soal Rapid Test Tak Bisa Dipercaya

Penumpang Pesawat melakukan rapid test di Bandara sebelum terbang.
Sumber :
  • VIVAnews/Sherly

VIVA – Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan menyebut hanya satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test, yaitu Sumatera Barat. Menurut hasil diskusinya dengan salah satu dokter Universitas Andalas, alat rapid test corona tidak dipercaya di sana.

Sinergi atau Persaingan? Pembentukan Danantara dan Posisi Kementerian BUMN di Masa Depan

Berdasarkan keterangan dokter bernama Andani Eka Putra itu, Dahlan menyebut bahwa alasan utama tidak adanya pembelian alat rapid test karena alat itu tidak bisa dipercaya.

"Semua tes dilakukan dengan PCR-swab test. Hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya," ujar Dahlan dikutip VIVAnews dari situs pribadinya, Disway.id, Minggu 12 Juli 2020.

Erick Thohir Tunjuk Maya Watono Jadi Direktur Utama InJourney

Baca juga: Tahun Ajaran Baru, Belajar Tatap Muka Belum Diizinkan di Kota Bogor

Kebijakan daerah itu, lanjut dia, ada pada penemuan ilmiah dokter Andani Eka Putra yang merupakan Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas itu. Di Sumatera Barat, tes swab bisa dilakukan dengan cepat dan hasilnya bisa diketahui dalam 24 jam dengan kapasitas tes 3.500 kali sehari.

Penundaan Rencana Pembentukan BPI Danantara Jadi Sorotan

"Sudah lebih dari tiga bulan Sumbar (Sumatera Barat) melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana, padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta," lanjut Dahlan.

Karena itulah, lanjut Dahlan, tidak ada zona merah di wilayah Sumatera Barat. Paling tinggi, zona oranye yang satu-satunya ada di Kota Padang. Sumbar pun sudah memutuskan untuk kembali membuka sekolah pada Senin, 13 Juli 2020, khususnya di 4 daerah.

Baca juga: Tujuh Ekor Kambing Ditemukan Mati Misterius di Dalam Kandang

"Kalau daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan. Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren," lanjut dia.

Dahlan menegaskan, tidak bermaksud untuk mempromosikan dokter Andani, Universitas Andalas maupun Provinsi Sumatera Barat. Fakta ini, lanjut dia, perlu diungkap agar menginspirasi daerah lain yang kadung ‘demam rapid test’.

"Sayang kebaikan ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid test. Respons dari daerah lain sangat minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu, Padahal penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy. Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela." kata Dahlan.

Semua uraian ilmiah dari dokter itu bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya, secara gratis. 

Belakangan, sambung Dahlan, diketahui mulai terdengar ‘kabar burung’ ada permintaan dari wilayah Jatim untuk mendapatkan uraian ilmiahnya.

"Kalau pun ada permintaan seperti itu sudah sangat telat. Jatim telanjur dinilai babak belur oleh tingginya angka Covid-19 maupun oleh konflik antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini," ucap Dahlan.

Dokter Andani sendiri, disebut Dahlan, belum mengetahui permintaan dari Jawa Timur yang jadi kabar burung itu. Dahlan pun berpesan bahwa di mana pun, ego masih lebih sering tampil dari pada ilmu. Termasuk dalam hal penyelamatan manusia.

"Akibatnya lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa diimpor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan. Dan rapid test sudah menjadi bisnis besar. Juga sudah ikut menguras anggaran publik," ucap Dahlan.

Siapa pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan harus melakukan rapid test.

"Yang ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis," tutup Dahlan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya