Dilegalkan Lagi, Cantrang di Pantura Bertambah 300 Persen
- ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
VIVA – Keputusan Presiden Jokowi dan Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti memperbolehkan cantrang bagi nelayan di Pantura Jawa disesalkan. Sebab, cantrang terbukti tidak ramah lingkungan dan sangat merusak ekosistem laut.
Pengamat perikanan dan kelautan, Sukardi MP, mengatakan peraturan menteri KKP tentang pelarangan cantrang dilakukan untuk upaya konservasi. Namun dengan diperbolehkannya cantrang secara khusus ini mengakibatkan upaya konservasi sulit dilakukan, apalagi untuk perairan bagian utara Jawa.
"Di Pantura sebagian besar alat tangkap ikan adalah cantrang dan kini semakin bertambah banyak," kata Sukardi, Senin 22 Januari 2018.
Diketahui jumlah cantrang saat ini meningkat tajam dari sebelumnya 5.781 unit pada 2015 menjadi 14.357 unit pada 2017. Dengan bertambahnya jumlah kapal cantrang maka semakin banyak potensi ikan kecil yang tertangkap.
“Saya pikir asas manfaat dan konservasinya dikesampingkan dengan diperbolehkannya penggunaan cantrang ini,” katanya.
Sedangkan Pengamat Perikanan dari Universitas Gadjah Mada, Supardjo, mengatakan cantrang masuk dalam pukat tarik yang sering digunakan nelayan di pantura Jawa dengan jarak 2-3 mil dengan kedalaman 30-60 meter.
Selain jumlahnya kapal cantrangnya yang semakin bertambah, Supardjo mengatakan umumnya tangkapan dari cantrang mampu menangkap ikan–ikan kecil yang menjadi non target.
Ia mengilustrasikan, tali selambar 1.000 meter bisa menjangkau luasan area tangkapan hingga 40 hektare untuk sekali tarik, sedangkan ukuran 6.000 meter bisa menjangkau 200-an hektare.
“Itu yang ukuran 6.000 meter saja luasan tangkapannya bisa seluas kampus UGM,” katanya.
Tidak hanya sampai di situ, kata Supardjo, berdasarkan hasil penelitiannya, separuh hasil tangkapan ikan dari cantrang umumnya tidak sesuai target.
Nelayan cantrang di Lamongan, misalnya, mampu menangkap 51 persen ikan target utama dan 41 persen ikan non target. Sedangkan di Tegal, sekitar 46 persen tangkapan ikan target utama dan non target bisa mencapai 54 persen.
“Sehingga non target lebih besar dari separuh hasil tangkapannya,” katanya.
Ikan yang sesuai target akan dijual ke pabrik pengolahan ikan atau surimi, sedangkan untuk non target dijual untuk tepung ikan yang digunakan untuk menutup biaya operasional.
“Ikan non target seperti ikan Petek dan sebagainya digunakan sebagai bahan pembuatan tepung ikan untuk pakan ternak,” katanya
Menurutnya untuk menjaga konservasi ikan agar jumlah ikan tetap lestari, sebaiknya nelayan di pantura mengunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan, seperti bubu lipat dan rajungan.
Komoditas Politik
Sementara itu, Perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Yogyakarta, Sumarwan, mengatakan isu cantrang saat ini sudah menjadi komoditas politik. Bahkan dibalik nelayan yang berdemo di istana ada peran pabrik surimi dan pabrik tepung ikan yang selama ini mendapat manfaat dari hasil cantrang.
“Yang teriak itu politikus, pabrik surimi, dan pabrik tepung ikan. Takut pabrik surimi dan tepung tidak hidup sehingga isu cantrang menjadi isu politik,” jelasnya.
Ia mengkritik kebijakan perpanjangan penggunaan cantrang yang waktunya tidak dibatasi. Hal itu menurutnya akan menambah jumlah kapal cantrang karena kenyataan di lapangan semakin banyak kapal cantrang dengan ukuran besar dengan menggunakan teknologi.
“Alat tarik sudah menggunakan mesin, kalau dulu naikkan cantrang pakai tenaga manusia. Sasaran ikan dari cantrang ini populasi ikan ukuran kecil,” kata Sumarwan. (ren)