Kami Sering Dianggap Agen Asing
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Kisruh penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia sampai hari ini belum ada satu pun yang menunjukkan titik terang.
Tidak adanya iktikad politik negara menjadi hal paling krusial yang menjadi aral. Akibatnya, setiap harapan atas kasus pelanggaran HAM nyaris membuat putus asa.
Bagaimana tidak, meski sejak 25 tahun lalu telah ada Komisi Nasional HAM, belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM, khususnya yang berkaitan dengan masa lalu, bisa menjadi rujukan penyelesaian.
Indonesia pun selaluidihantui sejarah kelam HAM masa lalu. Ini bisa berdampak buruk. Sebab, bukan tidak mungkin orang mulai enggan mempercayai iktikad negara jika ada kasus HAM terjadi.
Bagaimana peliknya situasi ini? Simak wawancara khusus VIVA dengan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Dosen Universitas Sumatra Utara yang baru dilantik pada Oktober 2017 ini memberikan perspektifnya soal masalah HAM di Indonesia.
Anda baru dipercaya menjadi Ketua Komisioner Komnas HAM periode 2017–2020. Apa rencana prioritas lembaga ini ke depan?
Kami sudah mempunyai beberapa program kita kedepan yang sudah kami sepakati. Ada empat hal yang kita anggap paling penting.
Pertama, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Karena ini kan ada tujuh kasus yang sudah dibentuk Tim Adhoc nya, sudah dilakukan penyelidikan, tapi hingga saat ini belum ada solusinya seperti apa.
Kedua, itu isu agraria. Isu agraria itu kita anggap sebagai kasus yang penting. Dari sekitar 7.000-8.000 berkas kasus yang masuk ke Komnas HAM tahun lalu, ternyata sekitar 3.000-an berkas aduan itu terkait dengan konflik agraria.
Jadi kasus konflik agraria itu termasuk kasus yang paling besar yang masuk ke kita. jadi kita masukkan juga kasus agraria itu sebagai isu kedua yang harus kita selesaikan.
Isu agraria itu termasuk konflik lahan baik antara pihak pemerintah, swasta atau BUMN. Selain itu juga ada kasus baru yaitu konflik lahan terkait dengan pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan Bandara Kulon Progo, jalan tol di Jawa Barat, kasus di Kendal, dan sebagainya. Kasus agraria ini dapat mendorong konflik sosial.
Ketiga, terkait dengan isu radikalisme dan intoleransi. Kita setuju ini harus menjadi isu strategis. Kita sepakati bersama bahwa isu itu telah mendorong terjadinya persekusi, konflik antarmasyarakat, etnisitas, agama, golongan.
Nah, ini semakin mencuat kita melihat ada kaitan dengan pemilihan umum, maka kita akan sangat konsen dalam pilkada serentak nanti, dan di pileg dan pilpres tahun depan. Karena kita melihat kasus ini meningkat pada saat momen-momen itu.
Dan yang keempat adalah isu pembenahan internal komnas HAM. Seperti masalah keuangan. (Komnas HAM) sudah dua kali berturut-turut disclamer. Selain itu juga ada pembenahan sumber daya manusia, jaringan yang sudah dibangun, dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah soal performance lembaga terkait dengan isu HAM-nya.
Jadi performance lembaga ini tergantung pada penanganan kasus hak asasi manusia yang dapat kita selesaikan. Termasuk (pembenahan) perwakilan-perwakilan kita di daerah. Karena memang banyak soal yang harus kita benahi. Misalnya, perwakilan kita di Aceh.
Ternyata ada persoalan yang serius juga di sana, jadi bukan hanya soal isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh saja, tapi juga kelembagaan kantor perwakilan kita di sana.
Bagaimana dia berhadapan dengan stakeholder di sana, bagaimana dia berhadapan dengan korban yang jumlahnya cukup banyak juga, kalau masyarakat atau korbannya sendiri sudah tidak percaya dengan kantor perwakilan kita di sana. Kan ini akan menjadi soal juga kan, makanya kita juga fokus membenahi itu semua.
Di Aceh memangnya seperti apa?
Ada partner kita di sana, KKR misalnya, tapi KKR sendiri juga mengalami masalah. Misalnya KKR di sana kan dibentuk berdasarkan Qanun, sementara undang-undangnya di tingkat nasional sendiri kan sudah dibatalkan oleh MK.
Oke lah sekarang misalnya mereka merujuk berdasarkan UU Pemerintahan Aceh (UUPA), tapi problem lainnya adalah, begitu ini dimulai dia juga menimbulkan goncangan politik juga kan di sana.
Sehingga antara KKR dan pemerintah daerah, dia banyak tidak nyambung. Sebagai contoh, pemerintah daerah yang seharusnya men-support anggaran untuk KKR, yang terjadi justru pemerintah daerah menahan anggaran untuk KKR.
Karena ada kekhawatiran juga bagi pemerintah aceh juga kan, kalau ini jalan terus, korban-korban dimintai kesaksiannya semua segala macam, pasti akan ada problem.
Pertama soal keamanan, baik keamanan korbannya, siapa yang akan menjaminnya. Kemudian, kedua tentu dia akan menyebut pelaku kan, dan pelaku ini juga kan bukan hanya satu pihak, tapi kan juga para pihak yang ada di sana yang dulu pernah berkonflik di sana.
Nah, kalau itu nanti nama-nama pelaku sudah mulai muncul, siapa yang menjamin keamanan di sana, jadi kira-kira gitu, itu juga yang harus kita pikirkan.
Kemudian, karena KKR itu orientasinya fokus pada penyelesaian rekonsiliasi, tentu kan pasti membutuhkan anggaran. Jumlah korban ratusan ribu di aceh. Kalau hasil investigasi kita itu ada banyak rumah yang dibakar, sawah atau ladang yang dibakar, dan lain sebagainya. Jadi total anggaran yang dibutuhkan itu bisa triliunan loh itu, nah itu dari mana anggarannya itu?
Sementara status legal mereka itu kan berdasarkan Qanun, kalau menggunakan APBA (Anggaran Belanja Pemerintah Aceh) pasti kan tidak memadai. Nah, kalau mau menggunakan APBN dari mana legalitasnya? Orang dia berdasarkan Qanun, bukan berdasarkan undang-undang. Nah hal ini juga menjadi salah satu isu strategis yang keempat kita.
Selain Aceh, ada daerah lain?
Dulu itu kita punya kantor perwakilan di Kalimantan, karena di sana pernah terjadi konflik sosial juga. Nah, konflik sosial di sana sudah tidak ada, bagaimana dengan keberadaan kantor perwakilan kita di sana?
Apakah tetap akan dilanjutkan atau seperti apa, masih dibutuhkan apa tidak? Kalau dibutuhkan dalam rangka apa? Oke lah dalam rangka penyelesaian kasus-kasus yang lain, seperti kasus pertanahan atau agraria misalnya.
Tapi itu nanti akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat di Riau sana, karena apa? Kasus pertanahan di Riau itu lebih banyak lagi di sana, tapi mengapa tidak ada kantor perwakilan di sana.
Jadi justifikasi kita kepada publik ini untuk tetap mempertahankan kantor perwakilan kita itu apa. Karena ini kan masalah tata kelola ya. Nah yang seperti itu juga akan kita evaluasi semuanya.
Jadi apa rencana Komnas HAM untuk keberadaan kantor perwakilan di daerah ini?
Kita akan mengundang atau melibatkan pihak ketiga, yang kita anggap pihak ketiga ini dapat menilai dengan objektif. Dan itu sudah disepakati oleh teman-teman kantor perwakilan di daerah-daerah.
Akhir tahun lalu kami mengundang perwakilan kantor daerah, dan kita sepakati untuk semuanya dilakukan evaluasi. Dan semuanya setuju, apa pun hasilnya nanti semua akan mengikuti hasil penilaian asessment dari tim independen yang menilai nanti.
Di luar dari PR pembenahan internal itu. UU 26 tahun 2000 telah memberikan mandat kepada Komnas HAM soal kasus pelanggaran HAM berat. Mengapa itu tidak kunjung selesai?
Kasus pelanggaran HAM berat, sebenarnya problem yang kita hadapi adalah problem teknis. Kesulitan yang saat ini dihadapi oleh penyelidik Komnas HAM untuk mengumpulkan fakta-fakta sebagaimana yang dimintakan oleh penyidik kejaksaan agung.
Karena kan sebenarnya penyidikan kita sudah selesai, kemudian kita kirim ke Kejaksaan Agung, tapi dipulangkan. Terakhir, penyelidikan kita di kasus pelanggaran HAM berat di Papua juga dipulangkan oleh Kejaksaan Agung.
Kejaksaan memberikan 14 catatan yang harus kita penuhi. Dan ke-14 yang dimintakan itu, menurut penilaian penyidik kita sebagian besar itu merupakan kendala teknis. Tapi ini bukan teknis yang biasa ya.
Tapi teknis yang menyangkut pada kewenangan lembaga Komnas HAM ini. Misalnya, kita diminta oleh Kejaksaan terkait data-data visum, atau data-data terkait dengan instansi tertentu.
Karena kita hanya penyelidik, instansi tertentu dalam memberikan keterangan yang kita butuhkan masih kesulitan. Mereka tidak mau memberikan data. Nah, daya ikat Komnas ham sebagai penyelidik itu tidak sekuat kejaksaan yang merupakan sebagai lembaga penyidik.
Kedua, ada juga masalah teknis terkait dengan rentang waktu, misalnya tentang data visum. Ada ketentuan di dalam peraturan Menteri Kesehatan bahwa visum itu masa waktunya hanya berlaku lima tahun, kalau sudah lewat dari lima tahun visum dimusnahkan.
Nah, ketika kita meminta hasil visum ke sakit terkait, visum itu sudah tidak ada, sudah lewat lima tahun, karena di aturan itu maksimal visum dapat diambil maksimal lima tahun.
Nah, itu contoh kasus yang terkendala dengan masalah teknis. Tapi ada juga yang lebih subtantif.
Misalnya, penolakan dari sekelompok masyarakat yang merasa tidak terlalu yakin akan penyelesaian masalah HAM di daerah mereka seperti Papua itu, sehingga mereka enggan untuk memberikan keterangan. Kami juga kadang dianggap agen asing.
Karena mereka berpikir untuk apa lagi dimintai keterangan, toh juga tidak akan pernah diselesaikan. Dulu juga kita pernah begini kok, tapi belum pernah ada hasil, dalam arti kasus itu dibawa ke pengadilan. Nah, hal seperti ini tentu Komnas HAM tidak dapat berbuat apa-apa kan, karena wewenang kita hanya sampai ke penyelidikan.
Jadi, itu kendalanya. Kalau kejaksaan tidak mau meneruskan, ya mau gimana? Toh kita sudah melakukan penyelidikan dari dulu. Seperti kasus pelanggaran ham korban 65 itu sudah selesai penyelidikan oleh Komnas HAM, dan sudah menyerahkannya ke kejaksaan, dan sampai hari ini belum pernah ada proses pengadilan.
Jadi apa yang menjadi kendala sesungguhnya sehingga hal seperti ini terjadi lagi? Kasus bolak balik berkas ini kan sering kali terjadi, seperti kasus korban 65?
Kewenangan, pertama itu. tapi tidak sepenuhnya kewenangan juga. Seandainya Komnas HAM mempunyai kewenangan menyidik sekali pun, atau setidak-tidaknya melakukan penyidikan bersama Kejaksaan Agung, tidak ada jaminan juga itu bisa diselesaikan atau dibawa ke pengadilan.
Lalu apa masalahnya?
Kita tahu bahwa secara politik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, memang tidak gampang untuk membawa penyelesaian kasus-kasus seperti itu di pengadilan HAM.
Dia membutuhkan satu keteguhan politik tersendiri dari pemerintahan tertinggi kita supaya proses pengadilan itu terjadi.
Contoh dulu seperti Timor Leste itu kan, pengadilan dilakukan dan meskipun tidak satu pun pelaku dihukum kan? Seperti itu juga bisa terjadi, walaupun setidak-tidaknya orang bilang ada pengadilan.
Jadi problem ini adalah problem politik. Oleh karena itu kita menyampaikan di dalam rekomendasi sebelum-sebelumnya kepada pemerintah agar ada solusi-solusi yang non-yudisial.
Seperti contoh KKR di Aceh itu kan, sebenarnya KKR itu bisa kita anggap sebagai solusi non-yudisial, yaitu rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang berbasis pada kepentingan korban, maka mungkin ada reparasi kepada mereka, ada rehabilitasi, ada kompensasi dan macam-macam.
Dengan cara itu kan tidak ada pihak yang merasa diadili kan? Tetapi itu pun tidak gampang juga untuk dilakukan. Karena kan ada problem di anggaran, kemudian ada problem kekhawatiran bahwa ini betul-betul penyelesaian non-yudisial atau tidak misalnya.
Nah untuk kasus di Aceh itu seperti itu, para kombatan PA di sana itu ada juga yang berpikiran jangan-jangan penyelesaian seperti ini hanya salah satu cara atau pintu masuk untuk menuju yudisial.
Padahal, ini sebetulnya KKR itu mengatakan penyelesaian ini non-yudisial. Jadi itu problem tersendiri juga, padahal kasus aceh itu bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan kasus yang lainnya.
Laporan Komnas Ham tahun 2016 itu, menyatakan bahwa Polri merupakan pelaku kejahatan tertinggi yang diadukan oleh masyarakat. Mengapa berulang?
Kita ada MoU sebenarnya dengan Kapolri terkait dengan pendidikan dan penyuluhan. Ini melibatkan para perwira menengah di kepolisian, bahkan ada beberapa yang di level bintang satu juga, dan itu dilakukan dari dulu.
(Karena itu) Ada banyak sekarang kepolisian yang punya perspektif HAM. Tapi memang tidak mengurangi juga kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dan melibatkan aparat kepolisian.Â
Apalagi tadi yang saya katakan ada kaitan dengan konflik pertanahan. Di dalam konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara kekerasan, hampir semua kasus di situ terlibat pihak kepolisian. Belum lagi di kasus di luar itu.
Upaya untuk mengurangi selain itu?
Kami juga mendorong kepolisian agar punya semacam buku saku. Sehingga dalam melakukan penanganan perkara, dia tahu mana yang masuk dalam koridor pelanggaran HAM mana yang tidak. Dan itu semua kita sudah lakukan sejak lama, dan hasilnya lumayan.
Akan tetapi memang sekarang ini harus diakui juga sebenarnya banyak perbaikan-perbaikan dari institusi polri. Bisa dikatakan mereka saat ini mungkin agak lebih aware lah ya, dengan perspektif HAM.
Meski begitu, kita juga ingin mengupayakan untuk bertemu Kapolri lagi dalam waktu dekat ini untuk meningkatkan MoU kita itu, agar tidak sekadar memberikan pendidikan, penyuluhan saja.
Mungkin bisa yang lain ya, katakanlah seperti halnya, boleh enggak kami membuat buku saku yang isinya adalah indikator-indikator pelanggaran hak asasi manusia yang kemudian itu bisa menjadi alat ukur bagi pihak kepolisian dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
Kalau perlu kita buat menjadi salah satu dasar penilaian aparat kepolisian, atau kalau bisa menjadi salah satu asessment pengangkatan kepangkatan misalnya.
Selama ini kan mereka punya indikator atau asessment mereka sendiri terkait dengan teknis pelaksanaan tugas kepolisian. Nah bisa enggak kalau kita masukkan indikator komponen hak asasi manusia untuk menjadi alat ukur juga.
Ini bukan berarti Komnas HAM ingin ikut mencampuri lembaga kepolisian ya, makanya nanti kita akan coba usulkan ini kepada Kapolri.
Bagaimana anda melihat kondisi konflik sosial di Indonesia saat ini?
Kondisi sosial kita saat ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Di tengah kita mengalami keterbukaan politik sejak tahun 98. Semua pihak bisa mengekspresikan kepentingannya, pikirannya, aspirasinya secara terbuka.
Tapi dia lupa ketika dia mengekspresikan kepentingan atau pemikirannya itu, bahwa yang dia sampaikan itu menafikan kelompok atau golongan lain. Itu kan ancaman sebetulnya.
Bagi kita, penegakan HAM itu juga sekaligus sebagai upaya bagaimana menjaga soliditas sosial bangsa Indonesia. Makanya salah satu agenda kita dalam waktu dekat ini, kita ingin roadshow dengan ulama-ulama, universitas, tokoh-tokoh nasional, organisasi agama seperi NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
Kita ingin bersama-sama bergerak dalam alur menjaga soliditas sosial masyarakat indonesia. Poinnya tetap menjelaskan dan mengajak kepada semua pihak bahwa isu hak asasi manusia adalah isu bersama bangsa Indonesia, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari isu hak asasi manusia ini.
Kalau kita sepakat demokrasi, hak asasi itu dalam rangka memperkuat demokrasi, bukan menciptakan hal yang lain-lain.
Isu LGBT menjadi sebuah diskursus di masyarakat, sebagian memandang itu sebagai hak asasi, ada juga yang berpandangan bahwa ini bertentangan dengan moral agama. Bagaimana anda melihat ini?
Ada dua hal yang saya kira kita semua harus sepakati dulu, pertama tidak boleh ada kekerasan terhadap kelompok LGBT, artinya tidak boleh ada kekerasan yang dilakukan terhadap siapa pun dan atas nama apa pun.
Selama ini kan sering terjadi kekerasan kan baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap mereka, apakah itu kekerasan dalam bentuk fisik, atau pun non-fisik itu terjadi. Karena identitas dia sebagai LGBT.
Orang kan tidak bisa pisahkan, apakah ini soal identitasnya atau soal orientasi seksualnya, digabungin saja semua kan. Begitu ada orang dengan identitas seperti itu langsung kemudian dilakukan persekusi, melakukan kekerasan, nah itu kan tidak boleh itu.
Kemudian, kedua, kita harus menyepakati dulu soal diskriminasi. Itu praktik diskriminasi kan juga terjadi, terutama pada hak-hak dasar. Siapa pun orangnya harus mendapatkan hak-hak dasarnya di Indonesia, termasuk LGBT itu, dia berhak mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan.
Tapi begitu dia masuk pada isu yang lebih krusial, katakanlah seperti halnya yang diinginkan oleh kelompok LGBT seperti mereka meminta untuk diakui perkawinan sejenis di Indonesia, itu kan pasti akan menimbulkan kontroversi yang sangat besar.
Nah, Komnas HAM tidak akan berbicara dari aspek yang mungkin akan menimbulkan banyak perdebatan, tapi kita mulai dari yang paling dasar tadi, yaitu soal kekerasan dan diskriminasi dari hak-hak dasar.
Jadi itu pokoknya. Kalau itu sudah disepakati, saya kira dalam hal mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan hak lainnya itu saya kira semua bisa clear.
Karena kan tidak ada di dalam undang-undang pendidikan yang mengatakan kelompok LGBT itu tidak boleh sekolah, misalnya, itu kan tidak boleh ada seperti itu. Saya kira di undang-undang kesehatan juga sama, tidak ada yang di-design untuk mendiskriminasi kelompok LGBT itu.
Jadi kalau itu yang kita upayakan itu diakui oleh semua pihak, itu relatif lebih gampang untuk diterima masyarakat. Tapi yang lebih jauh, itu pasti akan menimbulkan kontroversi yang besar.
Apalagi yang memang di undang-undangnya sudah diatur oleh pemerintah. Misalnya, tentang UU Perkawinan, kan memang tidak ada yang mengatur tentang perkawinan sejenis. Jadi kalau itu mau diakui, kan harus mengubah undang-undangnya dulu, gitu kan.
Saya tidak yakin DPR itu juga mau mengubah undang-undang itu. Karena saya yakin kalau DPR mengubah undang-undang itu, DPR akan diduduki ratusan ribu orang itu, he.he.he.
Artinya, Komnas HAMÂ sendiri tidak ingin masuk ke dalam atau ranah yang lebih jauh ke sana ya?
Oh iya, karena kita menganggap bahwa itu akan sia-sia saja itu kan, jadi untuk apa juga kita perjuangkan yang sia-sia itu.
Bukan berarti kita tidak bisa memahami aspirasinya, tetapi kalau kita mau mencari solusi, kita harus mencari solusi yang benar-benar bisa masuk akal. Karena kalau tidak seperti itu, bukannya solusi yang di dapat, malah nanti sideback tidak ada yang bisa dihasilkan.
Jadi kita fokus pada dua isu tadi. Pertama itu melakukan sosialisasi atau pendekatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan kepada siapa pun, termasuk kelompok LGBT. Kedua, isu diskriminasi. Jadi tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun juga.
Dan itu kan juga jelas ada di undang-undang KUHP-nya, jadi kepolisian kalau menindak orang yang melakukan kekerasan atau diskriminasi kan bisa ditindak sesuai dengan KUHP.
Dan saya pikir orang yang melakukan kekerasan itu pada prinsipnya mereka juga sepakat untuk tidak melakukan kekerasan terhadap sesama. Oleh karena itu pendekatan yang kita lakukan dengan dua poin itu tadi, dan itu lebih bisa masuk akal.
MKÂ telah mengabulkan gugatan kelompok aliran kepercayaan soal KTP. Bagaimana Komnas HAM menilai putusan MK tersebut?
Kalau kita sebenarnya tidak akan mencampuri bagaimana teknis pengisian kolom itu ya, karena itu kan ranahnya Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Dukcapil.
Tapi yang ingin kita pastikan itu, bahwa setiap orang yang memiliki keyakinan apa pun itu harus diakui sebagai bagian dari bangsa kita.
Selama ini di beberapa tempat, ada terjadi, agar dia bisa diakui perkawinannya di catatan sipil atau oleh negara, maka dia harus pura-pura masuk Islam atau masuk Kristen.
Padahal kan dia punya agama sendiri. Banyak kok itu yang mempertanyakan putusan MK itu, ngapain sih ini ada kolom tambahan segala? Dia lupa bahwa sebelum negara ini ada pun mereka itu sudah ada, dan tidak bisa kita ingin memaksa-maksa mereka seperti itu.
Nah, Komnas ingin memastikan kelompok-kelompok yang datang dengan kepercayaannya yang beragam itu harus diakomodasi semuanya. Nah cara mengakomodasinya itu mau seperti apa? Itu silakan saja diatur teknisnya, Komnas tidak ingin ikut campur dalam urusan teknis atau cara mengakomodasinya.
Dua tahun terakhir sekitar 100 bandar narkoba ditembak mati, tanpa harus melewati pengadilan. Bagaimana anda menanggapi hal itu?
Itu sebenarnya juga menjadi salah satu yang akan kita tawarkan juga dalam MoU dengan kepolisian, dan itu juga akan menjadi salah satu pembahasan kita. Tapi tidak secara khusus pada BNN saja, kita juga akan berbicara dengan BNPT juga.
Karena kita tahu dalam penanganan kasus terorisme juga kayak gitu juga kan, kadang-kadang terjadi suatu tindakan yang menurut kita melebihi dari prosedurnya ya. Sehingga ada aspek-aspek kekerasan, bahkan yang menimbulkan kematian yang sebetulnya bisa dihindarkan kalau mereka bisa mengikuti kaidah-kaidah di dalam pemeriksaan.
Tetapi kalau untuk yang BNN kita belum fokus ke sana ya. Tapi ini jangan diartikan Komnas ini tidak setuju dengan penanganan kasus terorisme loh ya, atau dengan pemberantasan narkoba, bukan loh.
Lalu apa yang harusnya dilakukan?
Kasus narkoba itu apakah seluruhnya yang ditangkap itu harus dipenjarakan? Laporan yang kami terima, banyak dari mereka yang ditangkap itu kan user atau pengguna, yang seharusnya bisa mendapatkan rehabilitasi bukan dipenjara.
Lapas itu sudah over load, dan kebanyakan di dalam itu justru pengguna narkoba. Kalau semuanya dipenjara itu kan juga akan menjadi beban bagi pemerintah. Butuh anggaran yang besar juga itu pasti kan.
Bahkan muncul kasus-kasus baru peredaran narkoba yang dioperasikan dari dalam LP kan. Nah, sekarang kita ingin mengajak pihak kepolisian juga untuk memikirkan, apa semua ini mau dipidanakan? Atau apakah tidak direhabilitasi.
Apa harapan anda untuk Presiden?
Buat Pak Jokowi, sesuai dengan Nawacitanya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Kita berharap ada satu langkah serius untuk menunjukkan kepada publik, di dalam atau di luar negeri.
Satu saja cukup dibawa ke peradilan. Prinsipnya ada kemauan politik dari pemerintah lagi. Jangan terus-terusan dibebani oleh utang sejarah. (ase)