Fadli Zon Memandang Aneh Kebijakan Impor Beras
- VIVA.co.id/Lilis Khalis
VIVA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengkritik rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebesar 500 ribu ton pada akhir Januari 2018.
Menurutnya, rencana tersebut hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus menunjukkan rendahnya mutu data pangan yang selama ini mereka miliki.
"Saya melihat, kebijakan impor beras ini sangat aneh," kata Fadli melalui pesan singkat pada wartawan, Minggu 14 Januari 2018.
Menurutnya, pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Paling tidak ada empat keanehan yang ia catat.
Pertama, Kementerian Pertanian (Kementan) hingga saat ini masih klaim Januari 2018 ini mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton.
"Dengan mengacu data BPS (Badan Pusat Statistik), Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017, produksi beras mencapai 2,8 juta ton. Sementara, tingkat konsumsi kita sekitar 2,5 juta ton," kata Fadli.
Ia menjelaskan, jika angka-angka ini benar, Indonesia seharusnya memang surplus beras. Namun, anehnya harga beras di pasar justru terus naik.
Kedua, pemerintah menyebut kelangkaan beras terjadi pada golongan beras medium, yang selama ini dikonsumsi oleh kalangan menengah.
"Namun, izin impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan malah untuk beras premium. Ini kan, tidak nyambung. Yang dianggap masalah adanya di mana, tetapi penyelesaiannya entah ke mana," kata Fadli.
Keanehan yang ketiga, menurut Fadli Zon, adalah pemerintah berdalih impor beras bulan ini untuk menstabilkan harga beras, artinya untuk keperluan umum.
Sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk Permendag No. 1/2018, yang disusun untuk melegitimasi impor beras ini, izin impor untuk keperluan umum hanya dapat dilakukan oleh Bulog.
"Silakan baca Pasal 16 Permendag No. 1/2018. Nah, ini Menteri Perdagangan malah memberikan izinnya ke perusahaan lain," kata Fadli.
Kemudian, keempat, ia menjelaskan izin impor ini dikeluarkan pemerintah persis pada saat petani sedang menghadapi musim panen.
Menurutnya, empat keanehan itu sudah lebih dari cukup membuktikan pemerintah selama ini memang tidak transparan dalam mengelola kebijakan pangan.
"Saya juga menilai bahwa yang membesar-besarkan kenaikan harga beras belakangan ini sebenarnya adalah pemerintah sendiri. Dan itu dipicu oleh aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tak masuk akal," kata Fadli.
Ia menyebutkan, saat keseimbangan harga di pasar beras berada di atas Rp9.000, pemerintah malah menetapkan HET beras medium, misalnya, di angka Rp9.450. Kebijakan tersebut benar-benar sulit dinalar.
"Bahkan, muncul kesan kebijakan HET itu seakan-akan merupakan prakondisi untuk melegitimasi impor beras awal tahun ini," kata Fadli.
Ia melanjutkan, kalau harga beras naik, sementara di sisi lain pemerintah mengklaim produksi beras sebenarnya sedang surplus, maka yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan operasi pasar, dan bukannya impor.
"Impor beras di saat menjelang panen hanya akan menekan harga gabah petani. Harga gabah petani pasti anjlok. Jadi, kebijakan tersebut sebenarnya hanya menyakiti petani saja. Lagi pula, angka impor 500 ribu ton itu apa dasar perhitungannya?" kata Fadli.
Menurutnya, kapun stok beras memang minus, yang artinya pemerintah selama ini berbohong dengan klaim surplus beras.
Ia berharap, agar setiap rencana impor, berapa jumlah yang perlu diimpor, dan kapan sebaiknya impor dilakukan, dikaji secara matang dan transparan.
"Jangan ujug-ujug muncul angka 500 ribu ton tanpa ada alasan yang kuat," paparnya.