Impor Beras, CSIS Minta Harga Eceran Tertinggi Dicabut
- ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
VIVA – Pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri, menilai, kebijakan perberasan yang saat ini dijalankan pemerintah dipastikan gagal.
Sebab, menurut Yose, pemerintah selama ini melakukan kontrol harga melalui harga eceran tertinggi (HET) dan volume beras yang tersedia.
"Kedua kebijakan tersebut (kontrol harga dan volume beras) sama-sama membutuhkan impor. Ini tidak akan berjalan," kata dia kepada VIVA, Minggu 14 Januari 2018.
Sebaliknya, Yose melanjutkan, apabila impor dilarang, maka harga dipastikan naik. Dengan demikian, HET yang dikumandangkan pemerintah lima 5 bulan lalu tidak akan bisa terlaksana.
Ia juga menegaskan, persoalan impor beras ini bukan masalah Nawacita ataupun kampanye. Tetapi, masalah kebijakan yang mustahil untuk dilaksanakan. Kalau mau harga rendah, maka pasokan harus tersedia, yang tidak hanya didapat dari domestik saja.
"Kalau memang pilihannya tidak melakukan impor, maka harga harus naik dan masyarakat yang dikorbankan, terutama penduduk miskin," kata Yose.
Ia berpendapat, kebijakan yang lebih tepat saat ini adalah mencabut HET, namun tetap menjaga pasokan. Hal ini, tentu saja harus di-backup dengan data perberasan yang baik.
"Ada kecurigaan yang besar bahwa data saat ini dimanipulasi besar-besaran. Jadi, dengan data yang baik kita bisa tahu apakah pasokan tersedia dengan cukup atau tidak. Kalau kurang, memang kita perlu impor. Enggak perlu alergi terhadap impor. Apalagi pada tahun politik seperti ini," tegasnya.
Ia pun mengakui, langkah impor saat ini sudah cukup tepat, tetapi mungkin telat untuk dilaksanakan. Untuk jangka panjang tentunya produktivitas pertanian harus ditingkatkan.
"Ini adalah kewajiban Menteri Pertanian (Amran Sulaiman). Urusannya adalah meningkatkan kinerja pertanian, bukan mengatur impor dan harga beras. Itu serahkan saja ke Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita)," kata Yose.