Badan Siber Harus Perhatian Ekstra ke E-Commerce

Kepala Badan Siber dan Sandi Negara Djoko Setiadi
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA – Meningkatnya pertumbuhan jumlah pengguna media sosial, nilai transaksi e-commerce dan e-banking dipandang harus menjadi perhatian serius Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN. Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo menilai puluhan juta warga telah memanfaatkan jaringan internet untuk mencari informasi produk, harga dan berbelanja, serta berkomunikasi dengan bank untuk berbagai keperluan.

Trik Jitu Cara Hemat Belanja E-Commerce yang Wajib Diketahui Setiap Pembeli

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri e-commerce Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 17 persen dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada 2016 mendekati  US$25 miliar, sekitar Rp319,8 triliun.

Berdasarkan pertumbuhan 2016 itu, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan transaksi e-commerce 2017 berada pada kisaran 30 persen sampai persen. Dan, pada 2020, nilai transaksi diproyeksikan mencapai US$130 miliar. Menurut riset oleh Bloomberg, pada 2020, lebih dari separuh penduduk Indonesia akan terlibat dalam aktivitas e-commerce.

Smesco Indonesia Soroti Isu PHK Massal Tokopedia, Khawatir Jadi Pintu Masuk Pekerja Asing

Sementara itu, menurut Otoritas Jasa Keuangan, kata Bambang, data dan pengguna e-banking pun terus bertumbuh.

“Jumlah pengguna e-banking (SMS banking, phonebanking, mobile banking, dan internet banking) meningkat 270 persen, dari 13,6 juta nasabah pada 2012 menjadi 50,4 juta nasabah pada 2016. Frekuensi transaksi pengguna e-banking pun meningkat 169 persen, dari 150,8 juta transaksi pada 2012 menjadi 405,4 juta transaksi pada 2016," kata Bambang dalam keterangan pesannya, Senin 8 Januari 2018. 

Integrasi Tiktok Shop dan Tokopedia, DPR: Harus Bantu UMKM Adaptasi dengan Teknologi

Politikus Partai Golkar itu mengatakan, pusat-pusat layanan publik pada sejumlah kementerian, rumah sakit hingga sektor industri pun mengandalkan internet. Semua itu, menurutnya, harus mendapatkan perlindungan maksimal dari negara. Kebutuhan perlindungan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi karena pontensi serangan siber selalu menghantui Indonesia.

“Itulah alasannya BSSN perlu bekerja cepat untuk meminimalisir ancaman,” ujar Bambang. 

Dia memperkirakan, ancaman siber pada 2018 ini tetap variatif, mulai ancaman serangan, membobol sistem hingga pencurian data. Untuk itu, masyarakat dan pelaku bisnis pada semua sektor usaha harus peduli dan waspada. Para pakar dan peneliti memperkirakan serangan siber akan membidik sistem kontrol pada sektor industri dan perdagangan atau Industrial Control Systems (ICS). 

"Kewaspadaan BSSN dan pemerintah tentunya harus mengacu pada kecenderungan yang terus berkembang di dalam negeri seperti sekarang ini, yang ditandai dengan tingginya pertumbuhan e-commerce dan e-banking, selain meningkatnya penggunaan internet oleh pemerintah dan sektor bisnis swasta serta di pos-pos layanan publik," kata Bambang.

Menurutnya, bukan cerita baru bahwa para peretas lebih membidik sistem keuangan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Meluasnya layanan teknologi finansial (fintech) dan munculnya alat pembayaran baru tak pelak menciptakan peluang baru bagi para peretas untuk melancarkan serangan  yang sulit diantisipasi.

Kondisi tersebut menurut Bambang merupakan konsekuensi logis; semakin tinggi penerapan teknologi digital pada sektor industri dan perdagangan, semakin tinggi pula potensi ancamannya. Dengan mulai bekerjanya BSSN, dia mengharapkan, potensi ancaman itu bisa terdeteksi dan diminimalkan.

"Selain sektor keuangan, BSSN juga perlu memberi perhatian ekstra pada e-commerce atau ritel. Para peneliti dan praktisi teknologi informasi sudah mengingatkan bahwa meningkatnya bisnis ritel online menempatkan bisnis ini rentan terhadap serangan siber. BSSN patut menggarisbawahi hal ini, karena jumlah masyarakat yang aktif dalam kegiatan belanja dan transaksi online dewasa ini terus meningkat," kata Bambang.

Belajar dari CIA

Ia menuturkan, karena teknologi terus berkembang, strategi pelaku kejahatan siber pun ikut berevolusi. Selalu ada yang baru pada pola ancaman dan serangan dari pelaku kejahatan siber yang tidak diduga sebelumnya.  

Karena itu, selain menangkal, BSSN pun harus bisa menjadi kekuatan yang antisipatif.  Tentu saja kualifikasi SDM yang mumpuni sangat menentukan. Tidak masalah jika negara harus mengeluarkan biasa besar untuk menyiapkan SDM yang dibutuhkan BSSN.  Sebab, tantangan zaman mengharuskan BSSN mampu mengantisipasi dan menangkal serangan siber.

"Sebagai bagian dari alat pertahanan nasional, BSSN bersama pemerintah patut belajar dari kasus tuduhan dinas intelijen Amerika Serikat  (CIA) tentang aksi peretasan ribuan email Komite Nasional Partai Demokrat dan Partai Republik oleh dinas rahasia Rusia,” katanya.

Kasus peretasan yang melanda AS itu masih berproses sampai sekarang dan selalu mengganggu Presiden AS Donald Trump. Sebab, dari peretasan itu, CIA secara tidak langsung menuduh Rusia membantu kemenangan Trump.  Beberapa tahun lalu, intelijen Australia juga diketahui menyadap telepon presiden Indonesia dan beberapa menteri.

Menurutnya, sangat beralasan jika semua pihak berharap BSSN bisa mengamankan ragam kepentingan nasional. Bisa mencegah penetrasi intelijen asing ke dalam negeri, mengamankan data negara dan melindungi semua pejabat negara dari aksi penyadapan oleh pihak asing. 

"Itulah urgensi dari BSSN yang antisipatif," kata Bambang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya