"Tiap Hari 35 Perempuan RI Jadi Korban Kekerasan Seksual"
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipublikasikan di penghujung Oktober 2017, kian membuka mata masyarakat betapa kekerasan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa sepanjang 2016, ada 259.150 kasus kekerasan yang didominasi ranah pribadi, yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu mengakui angka tahun 2016, lebih tinggi.
Namun, perempuan kelahiran Lhoksuko, 7 Maret 1968 ini meyakinkan tingginya angka itu, seiring semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya. "Jadi, bukan berarti kasus tahun lalu lebih banyak dari tahun sebelumnya," kata Azriana, yang kerap dipanggil Kak Nana oleh rekan sejawatnya.
Karena itu, menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu mandat dan kewenangan Komnas Perempuan tidak hentinya ia lakukan. Selain mengampanyekan gerakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Azriana yang pernah berkiprah di LBH Iskandar Muda Lhoksumawe dan LBH Apik Aceh, juga terus mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Komisi VIII DPR.
Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi konsentrasinya, mengingat data Komnas Perempuan menunjukkan setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, salah satunya perkosaan. Ini artinya, setiap dua jam terjadi tiga kasus.
Lalu, apa strategi Komnas Perempuan meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, dan bagaimana kekecewaannya atas sikap pemerintah terkait RUU PKS yang tidak sejalan. Azriana menyampaikannya dalam wawancara khusus dengan VIVA di sela aktivitasnya yang padat di Hotel Harris, Jakarta, 17 November 2017 lalu. Simak wawancara berikut ini:
Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Padahal, mandat Komnas Perempuan salah satunya menyebarluaskan pemahaman soal bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana strategi Komnas meminimalisir masalah ini?
Yang kami lakukan untuk ini membangun komunikasi dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama, dengan lembaga-lembaga agama di seluruh Indonesia karena kami tahu soal bagaimana membangun kesetaraan dalam keluarga, membangun sikap saling menghargai itu perannya pendidikan. Dan, dalam hal ini tokoh agama punya kekuatannya sendiri untuk lakukan hal itu. Memang, dengan tokoh agama kita tidak bisa juga tiba-tiba masuk dan langsung kerja sama. Jadi, dipetakan dulu lembaga agama mana yang terbuka, kemudian siapa tokoh yang bisa champion kita di dalam. Kita juga harus siapkan bahan-bahan yang bisa jadi rujukan tokoh-tokoh agama ini, ulama-ulama misalnya. Mereka kuat dalam tafsir, namun mereka sering tidak terlalu terpapar dengan fakta, jadi tidak selalu terhubung dengan realitas.
Jadi, ini ruang yang harus kita isi. Bagaimana membangun ruang di mana fakta ini, teks-teks digunakan untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan. Itu cara kita bernegosiasi dengan tokoh-tokoh agama. Jadi, katakanlah kalau ada teks menyegerakan perkawinan itu sunah, misalnya, dan sering dipakai untuk membenarkan perkawinan anak, kita akan hadirkan beberapa data hasil pemantauan kita. Kasus-kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan tentang dampak perkawinan anak, lapisan masalah yang muncul dari perkawinan anak, kemudian bagaimana teks ini mau digunakan.
Selama ini, begitu untuk kasus-kasus yang lain. Karena kekerasan pada perempuan, salah satu yang membuat jadi berulang itu kan justifikasi dari tafsir-tafsir agama. Itu yang kita lakukan. Memang, kemudian tidak langsung kasusnya menurun. Jadi, step untuk ini, tahapan yang pertama sekali, harus kita perhatikan kesadaran masyarakat meningkat. Kesadaran itu yang akan berkontribusi pada dukungan terhadap korban. Pada pencegahan berulangnya kekerasan. Jadi, kesadaran itu dulu yang kita bangun dengan pendidikan, dengan melibatkan orang-orang kunci yang bisa menjalankan peran pendidikan itu.
Kendala memberi pemahaman pada keluarga apa sih? Karena, kalau dilihat dari catatan kekerasan di 2016 dari 259.150 kasus, sebanyak 245.548 didapat dari Pengadilan Agama. Artinya, kasus terbesar ada di keluarga.
Pengadian Agama sebagian besar kasus gugat cerai, jadi istri yang gugat cerai. Dan, fenomena meningkatnya angka gugat cerai harus dicermati bersama. Ini bukan perempuan sudah mulai durhaka. Ini yang kita komunikasikan dengan tokoh agama. Tidak semua gugat cerai masuk Komnas, bahkan ada yang sama sekali tidak diadukan dan mereka langsung gugat. Tetapi, tidak ada gugat cerai yang tidak dilatarbelakangi masalah. Ada 13 kategori gugat cerai, itu termasuk kekerasan pada perempuan, jadi tidak keliru juga angka gugat cerai tinggi punya latar belakang kekerasan.
Tapi di sisi lain, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilayani lembaga layanan Komnas Perempuan di daerah-daerah tercatat jelas, setiap tahun juga meningkat. Kalau ditanya apa hambatannya, pertama sekali pola asuh keluarga itu belum sepenuhnya bisa memainkan peran mencegah terjadinya kekerasan. Ketika istri mengalami kekerasan dari suami, kemudian mengadu pada keluarga, sikap menyuruh bersabar masih terbangun, bahkan menyalahkan dan menyuruh introspeksi. Padahal, pengalaman bertemu korban, rata-rata istri akan menceritakan kekerasan yang menimpanya kepada orang lain itu bukan (kekerasan) yang pertama kali, tetapi yang berulang. Yang pertama, biasanya tidak pernah diceritakan. Dia cerita, karena dia butuh dukungan. Ketika tidak diberikan, bukan saja menghambat korban, tetapi juga korban tidak mau cerita lagi karena dari sisi agama juga mengatakan tidak boleh buka aib.
Di keluarga kita banyak perempuan, istri, yang dihakimi oleh komunitasnya, karena keputusan-keputusan untuk keluar dari kekerasan yang dihalangi, atau keputusannya untuk mencoba punya relasi yang setara dengan suami. Banyak perempuan yang dihakimi, dicibir oleh masyarakat. Jadi, pola asuh keluarga, budaya di masyarakat, ini hambatan bagi kita untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga, walaupun meminimalkannya menurut saya bisa jadi punya dampak, karena angka yang tinggi bukan selalu kasusnya juga meningkat. Sebab, angka tinggi kita ketahui karena angka yang dilaporkan. Bisa jadi, dulu lebih tinggi dari sekarang, tetapi yang dilaporkan sedikit. Kenapa angka yang dilaporkan meningkat? Karena, kesadaran masyarakat mulai terbangun, ketika masyarakat sudah tahu bahwa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) bukan lagi persoalan privat, bukan lagi persoalan pribadi yang tidak perlu kita campuri. Masyarakat tahu mereka punya kewajiban melaporkan, membantu korban dan ini terwujud dalam tindakan.
Jadi, kalau kita lihat angka tinggi, tidak selalu kasusnya meningkat. Tetapi, yang dilaporkan meningkat. Karena, yang tidak dilaporkan kita tidak tahu. Bisa jadi lebih banyak lagi. Misalnya, tahun lalu dengan sekarang, bisa jadi tahun lalu lebih banyak, tetapi sedikit dilaporkan dan tahun ini bisa jadi tidak seekstrem tahun lalu, tapi yang dilaporkan lebih tinggi. Jadi, ini yang satu hal. Hal lain, pola asuh di keluarga banyak yang bias gender. Saya juga besar dalam pola asuh yang bias gender, kita merasa di sini tempatnya. Itu masih berlangsung sampai sekarang. Di sisi lain, secara kebijakan pun regulasi kita yang membuat relasi suami istri tak setara masih berlangsung hingga sekarang, lihat UU Perkawinan. Jadi, ini kompleks. Belum lagi, kemudian kalau ada kasus-kasus kursus pengantin, itu semua aparatur pemerintah masih bias gender dalam memberi materi.
Jadi, upaya kita memperbaiki situasi dengan upaya membuat itu tetap langgeng dan menguat tidak sebanding. Tetapi, bukan berarti kita harus diam, justru memang barisan untuk mengubah situasi ini harus diperbanyak, banyak orang harus dirangkul. Karena, ini bukan isu yang jadi pengetahuan semua orang, cari temannya dalam hal ini susah, yang ada lawannya banyak. Jadi, kita dalam proses cari teman. Sambil menangani persoalan sambil rangkul banyak orang. Kadang-kadang, setahun belum tentu satu orang bisa dirangkul.
Dalil agama menguatkan argumentasi laki-laki sebagai pemimpin. Nah, peran Komnas Perempuan juga memberi kesadaran kepada publik bahwa masih ada tafsir lain yang bisa dijadikan rujukan. Tetapi, konsekuensi orang yang berani memberi tafsir akan dibilang liberal. Bagaimana mengatasi hal itu?
Kita sangat tahu diri di situ. Yang pertama, Komnas Perempuan tentu juga tidak bisa pakai perspektif agama dalam mengedukasi masyarakat, karena dia lembaga HAM bukan agama. Jadi, dalam kerangka HAM. Masalahnya HAM sesuatu yang dilihat dari barat, liberal, sehingga penolakannya kuat sekali. Yang kita lakukan kita menggandeng sosok lembaga yang punya legitimasi, misalnya Kongres Ulama Perempuan. Itu ruang sangat penting untuk diperkuat dan dimanfaatkan Komnas. Kami sudah punya beberapa rencana dengan beberapa ulama perempuan, seperti bagaimana kita mengawal hasil rekomendasi. Lalu, bagaimana memperbanyak ulama-ulama yang punya sensitivitas terhadap persoalan perempuan. Caranya, ruang perjumpaan lebih sering, diperbanyak, untuk mengomunikasikan fakta, problem, dan mencari penyelesaian dari teks. Ruang perjumpaan ini jadi kondusif, orangnya jadi kondusif dan orang datang dengan sikap terbuka. Beda kalau kita bicara di depan kelompok pengajian.
Kami juga menemukan semakin hari banyak tokoh agama yang terbuka, sensitivitas gender yang cukup baik, cuma mereka kadang-kadang bukan orang populer yang selalu tampil di TV. Mereka orang yang akan jawab ketika ditanya. Cara lainnya tiap periode ada laki-laki yang ulama, setiap periode seperti itu. Ini untuk pendekatan dan membantu kita memperkuat komunikasi kita dengan tokoh-tokoh agama, karena dengan tokoh agama ini kita tidak semata-mata bicara dalam perspektif HAM. Kita juga harus bicara dengan bahasa yang mereka pahami supaya nyambung. Jadi, kehadiran komisioner dengan latar belakang tokoh agama ini menjadi penting dalam hal ini. Jadi, selalu ada. Periode ini Kiai Nahei, beliau punya pesantren di Situbondo. Tahun lalu, Kiai Husein Muhammad yang punya pesantren di Cirebon. Tahun lalunya lagi, Pak Abdul A'lah, yang sekarang rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Benar enggak dari temuan Komnas Perempuan, ada relevansi semakin radikal pemahaman laki-laki, maka potensi dia menyakiti istrinya entah vertikal abuse atau verbal abuse makin tinggi?
Saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti soal ini, karena kita harusnya punya penelitian. Tetapi, penelitian khusus untuk itu belum ada. Dari data pemantauan, kita biasanya melihat pendidikan. Jadi, pendidikan pelaku apa? Terus pekerjaaanya apa?
Pendidikan rendah berkorelasi enggak?
Ternyata, tidak selalu berpendidikan rendah. Karena dari kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, pejabat publik juga ada. Jadi, pendidikan rendah tidak selalu berkorelasi dengan angka kekerasan. Jadi, ini benar-benar pola asuh, bagaimana seseorang melihat paradigma, memperlakukan perempuan, suami memperlakukan istri. Memang ada situasi kemiskinan, terus orang juga di pemikirannya sendiri melihat istrinya lebih rendah dari dia, itu akan jadi pemicu. Karena, kita juga tahu kalau radikal, ya bisa jadi karena pemahaman agama yang dia dapatkan itu kadang-kadang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Itu bisa jadi kemudian yang dia pahami, dia menjalankan keyakinannya dengan cara seperti itu. Padahal, nilai-nilai agama, nilai yang baik.
Kita lihat beberapa orang yang kita kenal, ilmu agamanya sangat tinggi, ternyata sangat penyayang kepada istrinya, memperlakukan istrinya dengan sangat setara. Kalau orang benar-benar beragama, menurut saya, ya seharusnya dia memperlakukan istrinya dengan baik. Karena, kalau kita bicara Rasulullah punya banyak sekali cerita bagaimana dia berumah tangga, memperlakukan istrinya. Jadi, kalau kita benar-benar mengikuti sunahnya harusnya kita ikuti itu. Dan, kalau semua laki-laki menjalankan rumah tangganya seperti Rasulullah berumah tangga, saya rasa tidak ada KDRT.
***
Terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masih dibahas di DPR, apa bisa membantu meminimalisir masalah-masalah tadi?
Kalau RUU PKS hal yang beda lagi. Kalau kita bicara soal KDRT, kita sudah ada UU KDRT. Kalau RUU PKS, kami usulkan ke DPR berdasarkan temuan Komnas Perempuan. Jadi, kami setiap tahun mengeluarkan catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Di tahun 2012, kami coba melakukan kajian terhadap catatan tahunan, sejak pertama kami keluarkan sampai terakhir. Waktu itu tahun 2011, selama 10 tahun. Kemudian, kami menemukan dalam 10 tahun itu, setelah dikaji kasus yang terjadi, dalam sehari ada 35 perempuan jadi korban kekerasan seksual, dalam rumah tangga dan di luar.
Kalau KDRT, rumah tangga ranahnya. Sementara itu, seksual bentuk kekerasannya. Jadi, bentuk kekerasan bisa terjadi di semua ranah. Jadi, yang kekerasan ini dalam sehari menimpa 35 perempuan. Artinya, kalau kita bagi dalam 24 jam dalam dua jam ada tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Terus, apa saja bentuk kekerasan seksualnya waktu itu? Ternyata, itu bukan sekadar perkosaan, atau pencabulan yang ada aturannya dalam KUHP, bentuknya banyak. Terus, kita mengenal ada yang namanya penyiksaan seksual, ada yang namanya pemaksaan aborsi, ada 15 jenis lainnya. Kita melihat kejahatannya berkembang sedemikian rupa dalam 10 tahun. Sementara, hukumnya enggak berubah.
Apa aturan hukum yang ada sudah tidak mampu mengatasi lagi?
Enggak mampu. KUHP itu kan hanya punya aturan tentang perkosaan. Itu pun ruang lingkupnya sangat sempit, sudah enggak bisa karena perkosaan sekarang sudah sangat canggih. Kalau dulu kalau mencuri, masuk rumah orang langsung ambil barang. Sekarang enggak perlu masuk rumah, lewat ATM atau internet juga bisa. Begitu pula kekerasan seksual ini. KUHP hanya mengenal perkosaan. Yang dia kenal perkosaan harus ada persetubuhan. Malah, KUHP pakai istilah ada penetrasi alat kelamin. Padahal, sekarang sudah enggak begitu, sudah berkembang sedemikian rupa. Dan, apa dampaknya ketika kasusnya terjadi dan korbannya melapor ke polisi? Polisinya enggak tahu harus pakai pasal yang mana. Mau pakai pasal perkosaan, oh ini enggak memenuhi unsurnya. Akhirnya, kasusnya dihentikan enggak bisa dilanjutkan. Dampak situasi ini membuat korban bukan saja merasa terluka ,tetapi juga menghilangkan hak dia untuk mendapatkan keadilan. Sementara itu, pelaku karena tidak terjerat hukum bebas, nanti berbuat lagi ke perempuan yang lain.
Jadi, karena situasi ini kita melihat undang-undang menjadi sangat penting walaupun kalau di awal pembicaraan kita tadi undang-undang bukan satu-satunya. Tetapi, undang-undang penting untuk meminta pertanggungjawaban hukum, untuk mencegah dia berulang ke depan, dan untuk memastikan pemerintah punya program pemulihan untuk korban. Karena, kalau itu tidak diatur dalam kebijakan, itu tidak akan pernah disiapkan dengan sengaja oleh pemerintah. Jadi, itu kenapa kita usulkan RUU PKS.
Sudah sampai mana sekarang prosesnya?
Sekarang dalam bahasan Komisi VIII. Jadi, RUU ini ditetapkan oleh DPR dibahas Komisi VIII, walaupun kami sebenarnya menginginkan RUU ini dibahas pansus, karena RUU ini kan enggak satu sektor, enggak satu isu, bukan cuma bicara isu perempuan. Karena, kalau ditaruh di Komisi VIII, komisi itu kan urusannya perempuan, anak, dan agama, ini kan bukan sebatas ini. Ada persoalan hukum di sini, ada persoalan kesehatan, ada persoalan pendidikan. Tetapi, lobi kita enggak berhasil, kemudian diketuk palu dibahas Komisi VIII. Artinya, medan perjuangan kita sekarang Komisi VIII.
Banyak Daftar Isian Masalah yang dihapus oleh pemerintah, apa sebetulnya yang terjadi?
Mereka menghapus, jadi yang dihapus 102 pasal. Alasannya dihapus, yang pertama, karena sudah ada di undang-undang yang lain. Kedua, aturannya dianggap terlalu teknis. Sehingga, itu nanti diatur dalam peraturan di bawahnya saja, enggak usah di undang-undang. Itu alasannya, walaupun setelah kami mempelajari sebagian besar enggak (teknis). Kalau mereka bilang ini sudah ada di undang-undang lain, undang-undang lain itu tidak bisa digunakan untuk ini. Jadi, ini yang enggak dipahami pemerintah, jadi tidak dilihat dengan jeli.
Masalah penting yang seharusnya ada yang dihapus pemerintah menurut Komnas Perempuan apa?
Jadi, soal perlindungan korban. Menurut pemerintah ini sudah ada dalam UU LPSK soal perlindungan saksi korban. Padahal, kita cek perlindungan oleh LPSK itu hanya bisa diberikan kalau kasusnya masuk proses peradilan. Kalau enggak, ya enggak bisa. Padahal, dalam RUU PKS ini yang kita usulkan adalah perlindungan sejak korban mengadu kepada siapa pun mereka mengadu, meskipun kepada kepala kampung, enggak mesti kepada polisi, itu yang kita maksud. Nah, ini kan enggak bisa terjawab.
Yang kedua, yang penting soal definisi dari kekerasan seksualnya sendiri. Kekerasan seksual sangat khas. Masalah ini terjadi, karena ada ketimpangan relasi kuasa dan juga relasi gender. Relasi gender itu relasi antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan atas jenis kelamin. Jadi, gender itu kan konstruksi sosial masyarakat kita yang menempatkan, membangun satu aturan sistem perempuan seperti ini, laki-laki seperti ini. Dalam situasi itu, kalau kemudian muncul waria itu masyarakat punya aturan sendiri. Jadi, waria itu direndahkan oleh sistem sosial, karena dia dianggap mencederai konsep masyarakat tentang laki-laki, sehingga enggak diterima, dihakimi, dan itu juga termasuk dalam relasi. Jadi, waria itu punya posisi yang sama rendahnya dengan perempuan dalam relasi dengan yang lain.
Kita melihat, orang-orang dalam posisi rendah ini rentan sekali jadi korban. Dan, kenapa kita munculkan ketimpangan relasi di dalamnya? Supaya ketimpangan relasi itu bisa jadi salah satu hal yang bisa dibuktikan kalau terjadi kekerasan seksual. Karena, sekarang ini kan pemaksaannya harus dibuktikan. Karena, harus membuktikan pemaksaan, makanya polisi kalau ada orang ngadu diperkosa pertanyaan kayak yang Pak Tito (Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian) kemarin bilang. Memang pertanyaan kayak gitu, kenyataannya seperti itu dan itu mencederai korban.
Bisa bayangkan, kita mengadu kita diperkosa, kemudian ditanya kamu nyaman enggak saat itu waktu diperkosa, background saya kan pengacara dan sangat sering mendampingi korban, pertanyaan Jaksa, 'kamu basah enggak', terus 'kamu goyang enggak'. Bayangkan itu di ruang sidang yang bukan hanya berdua dengan yang nanya, tetapi ada Hakim, ada Panitera. Meskipun sidang tertutup, tetapi bukan kita sendiri di ruangan itu.
Artinya, pertanyaan tanpa empati itu muncul karena sistem hukumnya. Sistem hukumnya hanya untuk membuktikan kalau kamu diperkosa, goyang berarti kamu enggak dipaksa, bukan perkosaan. Sesederhana itu. Enggak bisa kalau begitu terus sistem hukum kita, bagaimana rasa keadilan bagi korban? Dan, kita bukan sedang bicara soal perempuan saja, kita juga bicara laki-laki yang direndahkan itu. Memang dalam praktiknya dalam faktanya lebih banyak perempuan yang jadi korban, dan anak yang cukup banyak dibandingkan dengan laki-laki waria. Jadi, mereka hilangkan ketimpangan relasi gender itu, padahal tanpa itu RUU PKS sudah kehilangan akar, rohnya, sehingga enggak ada gunanya lagi. Akhirnya, kita akan kembali pada definisi yang ada dalam KUHP itu.
***
Artinya, kalau RUU PKS ini diketuk palu, disahkan, hanya jadi pelengkap saja sifatnya?
Hanya pelengkap, enggak ada satu kemajuan apapun. Ngapain coba kita habiskan begitu banyak energi dan biaya untuk ini. Kan, sidang ada anggaran juga kan.
Dalam situasi seperti ini apa yang dilakukan Komnas Perempuan?
Kita memberikan tanggapan tertulis kita, keberatan kita dan argumentasi kita. Jadi, kita memberikan catatan kita, kenapa kita keberatan dan apa yang kita usulkan. Begitu juga dengan tindak pidana kekerasan seksualnya, dari sembilan yang kita usulkan, mereka hapus lima jadi tinggal empat. Yang dihapus itu pelecehan seksual, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi.
Ketika pemerintah mengambil keputusan itu, menurut Komnas Perempuan perspektif mereka yang tidak dalam posisi korban, atau mereka punya pertimbangan tertentu?
Pertimbangan mereka, seingat saya tidak ada alasan yang terlalu jelas ketika mengurangi pasal-pasal itu untuk tindak pidana kekerasan seksual. Yang pelecehan seksual, pemerintah ganti dengan pencabulan, jadi mengambil istilah yang ada dalam KUHP. Padahal, kalau pencabulan, KUHP enggak bisa melindungi korban pelecehan yang sifatnya enggak kontak fisik. Misalnya, dikirimi foto-foto porno, dilecehkan secara verbal itu tidak bisa terjawab. Karena, pencabulan itu unsurnya harus ke fisik. Kalau enggak diremas, kalau enggak diapain itu enggak bisa diadukan.
Jadi kalau ada kasus, misalnya pelecehan secara verbal, bisa menguap begitu saja?
Sudah saja kayak sekarang ini. Tetapi, untuk pelecehan secara verbal itu kita membuatnya sebagai delik aduan, jadi enggak mesti juga penjara penuh, karena itu sebab banyak sekali kasusnya. Jadi, kalau korbannya keberatan dia akan adukan. Tetapi, kalau dia merasa belum perlu diadukan enggak ada proses peradilan untuk ini. Kenapa ini perlu diatur? Supaya kita juga bisa memperbaiki budaya masyarakat. Kalau pelecehan secara verbal ini dibiarkan terus, itu bisa jadi budaya nantinya. Sekarang saja, seakan-akan colek perempuan sudah dianggap hal biasa. Laki-laki kayak merasa dikasih hak oleh siapa gitu. Nah, budaya itu harus kita diperbaiki, dihapus.
Kemudian, pemaksaan perkawinan juga dihapus. Padahal, angka perkawinan anak tinggi sekali. UU Perkawinan tidak kunjung direvisi. Lalu, pemaksaan aborsi, kita rumuskan karena KUHP hanya mengkriminalkan orang yang meminta aborsi dan yang melakukan aborsi kalau orang itu bukan petugas medis. Dukun bisa kena pidana, jika dia lakukan aborsi, dan yang minta diaborsi. Sementara itu, laki-laki yang menyuruh aborsi dan menghamili enggak kena, karena dalam KUHP dia bukan pelaku. Ini enggak bisa, kasusnya banyak sekali loh, laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab dan menyuruh aborsi.
Bahkan, sudah aborsi dan pendarahan sampai meninggal ada, dia enggak dikejar, enggak kena. Jadi, ini yang kita minta diatur. Yang menyuruh supaya terjerat, jadi jangan sudah korban lalu dia dikriminalkan lagi. Karena, orang hamil di luar nikah itu sanksinya enggak hanya di pengadilan, tetapi juga dari keluarga dan masyarakat, sepanjang hidup dia. Kalau ada yang enggak kuat, enggak survive, ada yang bunuh diri. Karena itu, pemulihan menjadi hal yang penting buat mereka. Atau gangguan jiwa, karena enggak ada yang dukung, semua akan menyalahkan dia. Jadi, kami memberikan tanggapan tertulis dan apa yang harus dilakukan.
Kalau pemaksaan kontrasepsi maksudnya seperti apa?
Kalau kita bicara dari hak perempuan, perempuan itu punya hak otonomi atas tubuhnya, itu kedaulatan penuh dia terhadap tubuhnya. Memang, kita tahu kemudian program Keluarga Berencana hanya menjadikan perempuan sebagai sasaran saja, dia jadi objek bukan subjek. Tetapi, itu isu terlalu liberal kalau itu argumentasinya. Banyak keluarga-keluarga yang anaknya menyandang disabilitas karena enggak mau repot anaknya dikontrasepsi, disetrilin. Orang dengan HIV/AIDS karena takut dia kawin, tanpa persetujuan, dia disteril. Yang menjadi fokus di kita bukan steril atau bukan, tetapi soal persetujuan. Jadi, kalau itu dilakukan atas keinginan korban itu bukan pidana. Misalnya, saya HIV, saya ingin disteril saja supaya enggak melahirkan, saya yang minta dan itu bukan pidana.
Kalau dia tidak terima dia bisa melapor?
Bisa, itu yang kita fokuskan, karena banyak yang tidak dimintai persetujuannya sudah dilakukan saja terhadap dia.
Artinya, ada orang lain yang mengambil keputusan terhadap hidup dia?
Iya dan itu kan organ reproduksinya. Jadi, ini yang kita kemarin keberatan, walaupun dilihat dari lima yang dihapus itu yang sangat kita tetap perjuangkan harus tetap ada itu pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, dan pelecehan seksual.
Tiga itu yang diupayakan tetap masuk DIM?
Ini yang kita perjuangkan untuk tiga itu, karena kalau untuk pemaksaan kontrasepsi bisa (diskip), tetapi ada yang tidak boleh tidak ada, itu yang sedang dinegosiasikan. Yang kami lakukan, kami bicara ke Menko PMK (Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani). Kemenko sudah akan memfasilitasi kami bertemu dengan tim pemerintah, agar ada dialog tentang ini, dan lainnya kami minta dukungan media.
Mestinya Komnas Perempuan dan pemerintah bisa sejalan ya?
Harusnya, karena sebelum RUU ini masuk ke DPR, Presiden minta, kami kan melapor. Waktu itu ada saya, Menteri Yohana (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise), Mensos dan Mensesneg, Presiden meminta supaya Komnas Perempuan dan Kementerian PPA itu mengawal. Cuma sayangnya, waktu pembentukan tim pembahasan RUU dibentuk di pemerintah, Komnas Perempuan tidak termasuk di situ. Apa karena kita bukan lembaga non struktural, jadi dianggap bukan bagian. Tetapi, menurut saya ini kan urusan lembaga struktural yang terlibat, sekarang yang terpenting bagaimana mereka punya komitmen memberikan ruang. Jadi, kami melihat keinginan memberikan ruang itu yang enggak ada, jadi ini ego sektoral saja, kita lihatnya seperti itu.
Bagaimana tanggapan Menteri PPA?
So far, kalau Menteri PPA belum pernah ketemu. Tetapi, dari tanggapan dia di media, dia kan mendengarkan apa yang disampaikan kepala biro hukumnya yang mengikuti proses ini. Padahal, menurut kami biro hukum itu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kekerasan seksual, atau pun kekerasan terhadap perempuan, karena itu bukan tupoksinya dia. Harusnya yang me-lead ini di PPA itu adalah Deputi Perlindungan Hak Perempuan. Tapi ini tidak, jadi ini juga yang kita sayangkan manajemen di PPA-nya sendiri untuk pembahasan ini.
DIM lain yang dihapus soal syarat komitmen anti kekerasan bagi pejabat yang mendapat promosi, padahal banyak juga kasus kekerasan yang melibatkan pejabat. Tanggapan Anda?
Kalau untuk itu saya lupa, di RUU itu bukan untuk kriteria. Tetapi, kalau dilakukan oleh pejabat publik lebih ke pemberatan, hukuman diperberat. Ada juga bentuk penghukuman pengumuman putusan hakim. Jadi, selain kurungan, juga pengumuman putusan hakim, ini sangat diperlukan untuk kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik, enggak semuanya harus dipublikasi. Untuk kasus tertentu saja yang sifatnya serius, supaya ini jadi pengetahuan publik. Di luar negeri itu kan pelaku perkosaan datanya ada, harapan kita Indonesia juga seperti itu ke depan ketika menerima. Misal calon hakim agung, kelihatan riwayatnya, oh ini dulu pernah perkosa siapa. Maksud kita itu.
Perlu fakta integritas enggak sebagai syarat promosi jabatan?
Akan lebih baik seperti itu, kan itu hal yang selanjutnya yang kita butuhkan. Tapi sekarang, kita butuh data dulu bagaimana record dari masing-masing calon pejabat ini. Sekarang kan ada pejabat publik, padahal dulu dia pelaku kekerasan, perkosa. Jadi, bayangkan korbannya menyaksikan dia jadi kepala daerah.
Apa imbauan Komnas Perempuan untuk pemerintah?
Karena konteksnya kita sedang dorong RUU PKS, harapan saya tetap memasukkan hal-hal yang diusulkan Komnas Perempuan dalam draf RUU PKS, karena kami merumuskan itu berdasarkan fakta-fakta di lapangan, jadi berdasarkan kebutuhan di lapangan. Jadi, kalau kemudian dihapus begitu saja, undang-undang ini tidak akan menjawab masalah di lapangan
Kedua, harapan saya tentu saja pemerintah membuka diri untuk kita dialog intensif karena ini proses yang harus kita lalui juga di DPR. Jadi. DPR akan lebih berat lagi, karena yang dihadapi partai-partai politik yang enggak semua punya kepedulian yang sama. Jadi, kalau Komnas Perempuan dengan pemerintah sudah satu suara, dengan DPR, beberapa anggota sudah satu suara, perjuangan di DPR-nya kan jadi tidak lebih sulit. Walaupun juga belum tentu ringan, tetapi tantangan sebagian sudah kita atasi.
Dan, kepada masyarakat kita lihat dengan kejadian di Tangerang kemarin, masyarakat kita mengerikan sekali, masa depan seperti apa yang akan terjadi si masa mendatang jika budaya masyarakat seperti ini. Saya berharap tokoh agama, masyarakat, institusi pendidikan, lebih gencar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, penghargaan terhadap keberagaman. Kita bisa beda, tetapi bukan berarti orang lebih rendah, itu yang mungkin yang harus dikuatkan.
Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana menurut Anda penanganan Indonesia terhadap kekerasan seksual?
Kita termasuk buruk. Indikatornya dari infrastruktur, misalnya infrastruktur untuk memastikan perempuan aman di ruang publik kan sampai sekarang belum terwujud sepenuhnya. Data Komnas Perempuan itu, hasil pemantauan kita setiap tahun kekerasan di ranah publik, artinya di luar rumah, kekerasan seksual paling tinggi. Dan, apa jenisnya? Perkosaan. Kalau dalam wilayah privat seperti rumah tangga dan relasi pacaran, kekerasan seksual nomor dua tertinggi. Tapi di ranah komunitas publik yang tertinggi, itu setiap tahun seperti itu. Dari tahun ke tahun, itu indikator penanganan kekerasan seksual kita masih buruk.
Indikator yang kedua, kita enggak punya regulasi yang cukup. Ini kan kita mau dorong RUU PKS, tetapi sudah 72 tahun merdeka kita enggak punya selain KUHP. Ada KDRT. Tapi belakangan, tahun 2004, yang di dalamnya juga mengatur hal kekerasan seksual. Tapi kan, itu hanya melindungi perempuan-perempuan dalam posisi istri atau anak atau pekerja rumah tangga, di luar itu enggak. Regulasi untuk memastikan, melindungi perempuan dari kekerasan seksual, minim sekali.
Jadi, undang-undang yang ada enggak cukup, seharusnya kan undang-undang khusus ini kita dorong. Kalau undang-undang ini disahkan dengan materi muatan yang bisa melindungi korban, tidak dengan DIM aneh yang diajukan pemerintah sekarang, itu kan kemajuan bangsa Indonesia.
Indikator ketiga, perspektif aparat penegak hukum kita jelek sekali terhadap korban kekerasan seksual, selalu perempuan yang disalahkan. Jadi, mereka cermin dari budaya masyarakat. Kemudian, juga saya sangat sering dengar perspektif penegak hukum, coba tanya pada mereka, 'menurut bapak kalau pelacur itu boleh enggak diperkosa, ya namanya juga pelacur', mereka akan begitu. Jadi, mereka itu punya kebiasaan kalau ada korban kekerasan seksual akan dilihat dulu rekam jejaknya, kehidupan masa lalunya bagaimana. Contoh, kasus yang di Bengkulu yang ramai kemarin, dibilangnya diperkosa oleh 20 orang, kata polisinya dia sering 'dipakai'. Itu perspektif aparat penegak hukum kita, buruknya itu setidaknya bisa kita lihat dari tiga indikator itu.
Mengubah perspektif penegak hukum agak susah sepertinya?
Ya, itu sama kalau kita bicara mengubah budaya masyarakat. Perspektif penegak hukum itu sebenarnya bisa diubah dengan pelatihan-pelatihan. Yang kedua, harusnya juga dengan kebijakan. Misalnya ada reward untuk yang punya perspektif yang baik dan ada sanksi untuk yang perspektifnya jelek. Kalau mau serius, kan begitu. Ini kan enggak, yang baik ya baik saja enggak ada promosi apapun.
Perlu enggak kasus kekerasan seksual ditangani penyidik perempuan, efektif enggak?
Enggak efektif, tidak selalu ditangani perempuan lalu menjadi efektif, karena ada persyaratan juga untuk itu. Tetapi, namanya kekerasan seksual, kalau itu dihadapi perempuan, memang sebaiknya yang menangani perempuan karena dia sangat paham. Sakit di bagian mana, tidak usah kita perlihatkan dia sudah tahu, karena susah kalau semua diperlihatkan baru diketahui.
Kalau mengubah mindset penyidik laki-laki yang menangani kasus kekerasan seksual?
Kalau soal mindset, penyidik perempuan pun ada, tidak hanya laki-laki. Jadi, ini enggak soal jenis kelamin kalau mindset, enggak berhubungan. Yang perempuan pun juga ada, karena itu pelatihan jadi sangat penting. Kalau kenapa harus petugas perempuan, ya pertimbangannya itu tadi, karena secara fisik, pengalaman sebagai perempuan sama. Korban pasti akan nyaman, karena apa yang disampaikan itu cepat dipahami.
Apa Komnas Perempuan punya program kerja sama dengan aparat hukum?
Ada, kita pernah punya program untuk pendidikan hakim dengan di periode lalu. Di akhir 2016, kita juga punya program dengan aparat penegak hukum, ada polisi, jaksa. Jadi, ada training yang dilakukan Komnas Perempuan untuk itu.
Ada perubahan perspektif enggak setelah mereka ikut pelatihan?
Ada, jadi saya lihat juga. Dulu saya belum di Komnas Perempuan, tetapi saya salah satu peserta, itu teman training saya waktu itu Pak Ridwan Mansyur, salah satu Jaksa yang cukup baik perspektifnya. Lalu, Pak Rocky Panjaitan, sekarang hakim di MA. Jadi, mereka itu memang perspektifnya cukup baik sekarang. Walaupun namanya pendidikan, kalau 20 orang ikut bukan berarti 20 orang jadi. Tetapi, beberapa saya lihat perspektifnya berubah dalam melihat masalah.