Indonesia Jadi Bukti Persatuan dalam Keragaman
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Kebudayaan adalah salah satu ranah yang diberi perhatian cukup besar dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut Jokowi, merawat dan menjaga kearifan lokal budaya Indonesia saat ini sangatlah penting, karena intervensi peradaban Barat dan kebudayaan negara lain sudah sangat mendesak.
Bicara kebudayaan, saat ini yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah Hilmar Farid. Jika biasanya jabatan dirjen berasal dari tataran pegawai kementerian, berbeda dengan Hilmar. Ia adalah orang pertama dari tataran nonpegawai kementerian yang dilantik sebagai dirjen.
Pria berusia 49 tahun yang lahir di Bonn, Jerman ini sebelumnya dikenal sebagai sejarawan, aktivis dan pengajar. Lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini adalah putra dari Agus Setiadi, seorang penerjemah buku cerita anak.
Hilmar yang juga pernah menerbitkan buku berjudul Kisah Tiga Patung ini merupakan orang di balik digaungkannya kembali lagu Indonesia Raya Tiga Stanza sejak tahun lalu. Tak hanya itu, banyak yang telah ia lakukan selama menjadi Dirjen Kebudayaan sejak 31 Desember 2015.
Baru-baru ini VIVA berkesempatan berbincang dengan Hilmar mengenai kebudayaan dan isu-isu terkait, termasuk dalam hal perkembangan dan perlindungannya. Berikut petikan wawancara dengan Hilmar Farid.
Bagaimana peran kebudayaan dalam membangun dan memajukan bangsa Indonesia?
Kebudayaan tuh sering kalau saya menyebutnya itu mestinya ditempatkan di dunia pembangunan. Maksudnya apa? Maksudnya banyak kegiatan membangun negeri ini berpantau dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi, pertimbangan politik, pertimbangan sosial. Kita mau bangun jembatan, kita membangun jalan raya karena berharap itu akan memicu kegiatan ekonomi. Jadi itu pertimbangan-pertimbangan yang kita gunakan.
Nah, satu pertimbangan yang sangat penting di dalam kita merencanakan pembangunan atau memajukan ini adalah kebudayaan. Apa maksudnya kira-kira? Saya coba kasih contoh ya, jalanan, koneksi. Kita bikin jalan raya menghubungkan satu tempat ke tempat yang lain. Kita berharap akan ada arus barang, jasa, pergerakan orang terjadi. Nah, pertanyaannya adalah, apakah memang selalu pembangunan yang secara fisik dilakukan dengan sendirinya akan membangun hubungan-hubungan itu?
Menurut hemat saya, tidak. Orangnya juga harus disiapkan untuk menikmati konektivitas, fasilitas, infrastruktur, macam-macam. Kalau enggak ada persiapan itu, nanti yang mengambil manfaat dari pembangunan itu adalah orang yang paling siap. Dan mereka yang kurang siap mungkin malah enggak dapat apa-apa. Apa sih maksudnya siap? Maksudnya siap secara mental, siap juga secara kapasitasnya untuk membangun. Ya, dengan kata lain kebudayaan memiliki peran yang sangat besar. Itu soal bagaimana kedudukan kebudayaan dalam pembangunan.
Bagaimana implementasi kebudayaan di Indonesia?
Kita melihat ya perkembangan-perkembangan negeri-negeri lain mengembangkan kebudayaannya. Di kita dibandingkan katakanlah lima tahun lalu, perhatian kebudayaan sudah jauh lebih besar, dan bercermin dari bujetnya. Kalau dulu bujetnya Direktorat Jenderal Kebudayaan mungkin sekitar Rp400-500 (miliar), sekarang sudah meningkat bahkan boleh dibilang tiga kali lipat dari sebelumnya. Segitulah peningkatan yang berarti.
Mesti disadari juga bahwa di Indonesia ini dalam sistem pemerintahan kita, tidak kurang dari 18 kementerian dan lembaga yang mengurusi kebudayaan sebetulnya. Jadi pertanian ada, di Kementerian Kelautan ada, Perindustrian ada dan seterusnya. Masing-masing punya kecil-kecil. Salah satu tugas pentingnya adalah mengoordinasi semua energi besar itu, sehingga bisa menjadi satu. Dan saya kira pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu adalah cerminan dari strategi itu.
Bagaimana caranya macam-macam resources yang tersebar di banyak kementerian dan lembaga itu bisa dikoordinasi dengan benar. Sejauh ini dalam perhatian saya banyak yang sukses. Kalau di saya sendiri, fokusnya lebih banyak interaksi pemerintah pusat dan daerah dan juga komunitas di dalam upaya yang sangat spesifik yang namanya pelestarian budaya. Itu mandatnya di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Ya, kalau mau bicara kekurangan pasti ada. Kekurangan di sana-sini. Selalu ada lagu klasik bahwa uangnya enggak akan cukup dengan keinginan dan kebutuhannya sudah pasti. Tapi implementasinya, kalau menurut hemat saya sih sebenarnya sudah banyak capaiannya yang diperoleh.
Mengapa hingga sekarang kebudayaan tidak ada kementeriannya sendiri?
Kementerian berdasarkan UU kan hanya bisa 34, dan tentu Presiden yang mempunyai hak prerogatif untuk menyusun kabinetnya, sudah memikirkan itu. Tapi kalau misalkan sekarang kita lihat adanya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan. Itu pertama kali tuh. Sebelumnya belum ada. Itu juga sebenarnya sudah tanda kebudayaan mendapat perhatian khusus. Dan cukup sering Kemenko PMK mengundang kami ini untuk berdiskusi dengan kementerian dan lembaga lainnya untuk isu-isu spesifik dan saya kira sih sudah cukup banyak kemajuan.
Bappenas juga ada perubahan yang juga saya kira cukup signifikan. Tahun lalu malah sempat ada satu seminar khusus hanya tentang kebudayaan. Saya juga diundang, diminta bicara waktu itu. Memperlihatkan juga ya, pergeseran dalam pengertian pandangan dan sikap pemerintah khususnya Bappenas pada perencana pembangunan terhadap sektor kebudayaan ini. Soal kalau enggak ada kementeriannya ya saya juga enggak bisa jawab.
Di era globalisasi dan teknologi modern ini, Anda ingin kebudayaan di Indonesia seperti apa?
Yang penting sekali lagi kita lihat konstitusi ya. Pasal 32 ayat 1 dari UUD kita kan mengatakan bahwa negara memajukan kebudayaan. Itu visinya. Jadi kalau ditanya kebudayaan itu seperti apa? Kebudayaan ya memang arahnya bergerak maju. Ke mana arahnya? Baca lagi pembukaan UUD kita. Melindungi segenap bangsa dan Tanah Air, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan rakyat, kemudian juga turut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Semuanya sudah terumuskan dengan baik menurut saya. Tagarnya itu. Jadi kita enggak seperti mengulang diskusi. Kalau saya cenderung, balik saja ke apa yang sudah disepakati. Kembali pada konstitusi, ada pembukaan UUD, pasalnya juga sudah jelas. Dan kita bergerak di sana. Visinya tentu harus disesuaikan dengan konteks kita sekarang. Kalau lihat kecenderungan dunia sekarang, kebudayaan, pengetahuan, itu akan memerankan peran yang sangat besar di masa mendatang. Sekarang saja sebenarnya sudah.
Kalau kita lihat anak-anak yang bikin startup, kreatif dan segala macam, semuanya basisnya pengetahuan. Sedikit modal uang. Bahkan ada yang enggak punya duit sebenar-benarnya. Cuma dia modal ide, modal gagasan. 100 tahun lalu, 50 tahun lalu, 30 tahun lalu enggak mungkin itu. Kalau bukan bagian dari mereka yang punya uang. Tapi sekarang orang dengan ide, dengan gagasan, dengan kreativitas bisa jalan. Jadi dengan kata lain, sekarang kita perlukan investasi di bidang itu agar dia bisa betul-betul berkembang. Buat saya, sudah saatnya penyelenggaraan festival, kesenian, segala macam, itu bagian dari yang kita sebut pembangunan di bidang kebudayaan. Tapi bukan segalanya.
Jadi buat saya ukurannya bukan seberapa banyak festival yang kita punya, seberapa banyak seniman yang ke luar negeri dan segala macam. Itu salah satu aja. Tapi sebenarnya yang jauh lebih mendasar, ya tadi. Membangun ruang landasan yang luas bagi publik kita ini untuk mengembangkan diri secara kultural, secara intelektual, sehingga dia betul-betul nanti bisa ambil bagian ketika dunia ini makin terarah pada pembangunan ekonomi sosial yang berbasis kreativitas, berbasis identitas kebudayaan. Itu penting sekali. Saya sih membayangkannya begitu ya.
Pemerintah sekarang siap membangun permukiman bagi warga rimba atau masyarakat komunitas adat terpencil (KAT). Banyak yang bilang itu justru menghilangkan kebudayaan sendiri. Anda melihatnya bagaimana?
Kalau case by case, tentu kita bisa diskusi panjang ya. Saya terus terang enggak hafal. Tapi betul, tentu kalau sudah berbicara mengenai penanganan komunitas yang punya identitas kultural yang khas, yang kuat segala macam, di kita mandatnya mengutamakan itu. Cuma memang kenyataan juga mesti kita lihat tradisi atau kebudayaan seperti itu hidup dalam habitat yang juga berbeda dengan sekarang. Sekarang ini banyak dari orang rimba yang hidup di atas tanah yang diklaim, digarap oleh perkebunan kelapa sawit.
Jadi situasi hidup mereka juga sudah jauh bergeser daripada 100, 200 tahun lalu ketika mereka katakanlah masih bisa menjadi masyarakat yang hidup subsisten, relatif mandiri dari pengaruh luar, itu mungkin masih bisa bertahan. Jadi saya kira, di samping pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya kultural, pertimbangan yang sifatnya sosial dan juga lebih practical, dipertimbangkan. Kuncinya sebetulnya bukan apakah kita mau berubah atau membuat mereka tetap hidup, komunikasi. Orangnya diajak bicara maunya bagaimana. Kan kita enggak bisa bilang ini lah yang terbaik untuk mereka. Kita punya rencana, kita merasa ini lah jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi, tapi kuncinya menurut saya adalah komunikasinya itu. Partisipasi publik sangat menentukan.
Kalau diberi rumah semua, apakah tidak khawatir budaya aslinya akan hilang?
Makanya itu kan pilihannya. Dia disediakan. Mau dia kemudian memilih tetap dengan caranya yang lama, dengan satu atau lain alasan yang sangat-sangat bisa kita mengerti, enggak bisa diapa-apakan juga. Hanya saja yang mesti kita ingat tadi, habitatnya dia juga pelan-pelan bergeser, semakin berkurang. Hutan yang mereka kenal dulu dan saya kira bukan cerita baru buat mereka, juga mereka kesulitan untuk mempertahankan hidup dengan cara seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Jadi ini proses transformasi yang bukan hanya dialami kita. Di seluruh dunia sebetulnya. Kalau tanya saya, secara pribadi, ya sederhana. Kembalikan kepada komunitasnya.
Hanya saja kita juga tidak boleh demi menjaga kelestarian itu tadi, menghalangi mereka dari macam-macam kemungkinan lain. Ya silakan kalau mau tinggal di rumah, ya tentu ada akibatnya kalau kemudian kehilangan banyak praktik-praktik, pemikiran dan segala macam yang mungkin selalu mereka pegang. Kadang-kadang saya juga berpikir, yang bisa kita berikan kan pilihan-pilihannya. Keputusan akhirnya pastilah tetap ada di komunitas itu. Apa pun penilaian kita, menganggap ini yang bagus. Sayangnya, prinsip seperti itu tidak mudah dipraktikkan kalau sudah berhadapan dengan jumlah yang banyak. Kalau satu komunitas rimba di situ oke, kita bisa diskusi panjang. Tapi kalau sudah 100 komunitas seperti itu, mau tidak mau kebijakan abstrak yang keluar. Dirumahkan. Sehingga muncul ketegangan-ketegangan itu.
Tapi sepanjang ini saya banyak komunikasi sama Kementerian Sosial. Mereka juga punya komunitas adat, satu direktorat yang khusus mengurus komunitas adat dan di sana pendekatannya memang harus cepat-cepat dimodernisasi orang-orang ini. Di sini kita menahan dan juga dinamis. Saya kira itu wajar. Artinya policy, pelaksanaannya bertemu dengan dinamika di lapangan menghasilkan outcome yang berbeda-beda. Untuk satu komunitas mungkin baik, tapi belum tentu untuk yang lain. Jadi kita juga enggak bisa bikin generalisasi, semuanya enggak boleh diperkenalkan kepada hal-hal modern atau sebaliknya. Dua-duanya saya kira mesti kita buka kemungkinannya.
Tadi Anda sudah menyebutkan visi kebudayaan. Apa yang sudah Anda lakukan dan mungkin ingin Anda lakukan untuk mencapai tujuan itu? Apa yang sudah Anda rintis selama menjadi Dirjen Kebudayaan?
Tiga hal saja. Yang pertama itu mungkin sifatnya kebijakan secara umum. Kebijakan kita ini di bidang kebudayaan memang belum solid. Jadi kan itu, 18 kementerian dan lembaga, masing-masing seperti jalan sendiri. Belum ada kerangka yang mengikat. Kerangka legal formal. Kalau di sini kan birokrasi kerjanya ada UU, ada peraturan, regulasi pemerintah yang memberi perintah kepada masing-masing unit untuk berbuat sesuatu, dan itu bisa diterjemahkan nanti di dalam anggaran, perencanaan pembangunan dan kemudian bisa dijalankan programnya. Gitu cara kerjaannya.
Nah, ini selama ini kosong. Jadi kalau misalnya bicara tentang kebudayaan kita mau ke mana sih? Kalau pertanyaan-pertanyaan begitu ya terserah pejabatnya. Ini kan enggak bagus. Kalau menurut hemat kita, kapan konsolidasinya? Kalau begitu, masing-masing kan nanti punya festival sendiri. Itu di lapangan kelihatan betul. Kurangnya koordinasi di antara berbagai elemen. Padahal resources-nya kalau dikumpulkan besar. Jadi langkah legal yang diambil ya bekerja sama dengan DPR. Bahkan usulan dari DPR, ya bikin UU. Jadi kerangka formalnya yang kita pakai nanti itu untuk merumuskan program dan kebijakan-kebijakan turunannya.
27 April tahun ini keluar itu UU tentang Pemajuan Kebudayaan. Sekarang UU Nomor 5Â Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ini PR besar di tingkat kebijakan karena turunan dari UU-nya ada beberapa regulasinya. Peraturan pemerintahnya, perpresnya dan segala macam. Tapi intinya, sekarang hukum itu memberi perintah kepada pemerintah daerah, kabupaten, kota, provinsi untuk membuat perencanaan bottom-up. Dimulai dari kabupaten, kota, nanti dirumuskan provinsi, baru di tingkat nasional. Ini baru. Selama ini enggak terjadi. Banyak kabupaten, kota, 'bikin aja sendiri'. Bikin festival di sana, ini itu enggak ada koneksinya. Itu pertama.
Selain itu?
Kedua, kelembagaan, banyak kelembagaan kita ini sulit. Mungkin sering lihat museum ya. Museum itu kesulitannya satu, secara kelembagaan dia susah untuk berkembang. Mana ada sekarang museum di dunia ongkosnya masuknya itu Rp5 ribu? Pergi ke negara mana saja itu enggak ada segitu. Kalau untuk anak sekolah, fine. Oke. Kita bisa tunjang dengan KIP dan segala macam. Bisa dimasukkan ke sana untuk perkembangan museumnya. Tapi kalau untuk umum, pengunjung dari luar, kenapa tidak di-charge dengan harga yang pantas untuk ukuran, enggak usah jauh-jauh, Asia Tenggara lah. Salah satu hambatannya karena kelembagaan.
Sekarang museum-museum yang ada di bawah Direktorat Kebudayaan itu ada tujuh seluruhnya. Semuanya itu masih merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT). Tidak bikin kebijakan, tidak bikin program sendiri, semata-mata menjalankan program yang ditentukan dari atasnya. Padahal organisasi seperti museum itu memerlukan keleluasaan. Enggak mungkin dia menunggu perintah terus dari atasnya. Dia sendiri sebagai institusi dinamis dan itu tidak dimungkinkan. Museum-museum kita per definisi tidak punya kurator. Kenapa? Ya enggak bisa dibayar. Karena jabatan kurator tidak dikenal di sistem keuangan kita.
Nah, ini kan masalah kelembagaan. Bukan saya bilang Indonesia begitu. Enggak. Itu Museum Angkut di Malang sukses. Jual Rp150 ribu yang antre banyak. Terus masih banyak lagi. Di Yogya. Terus sekarang ada museum seni kontemporer yang baru keluar. Macan namanya. Bagus dan dia bisa charge orang dengan harga yang pantas lah sesuai dengan harga pasar. Ya tentu namanya museum pemerintah ada subsidinya. Pasti. Jadi enggak mungkin dia diharapkan 100 persen membiayai dirinya sendiri. Secara umum, kelembagaan ini yang menghambat.
Sekarang terobosan apa yang kita ambil? Sekarang sedang mengusulkan museum ini diubah dari UPT menjadi Badan Layanan Umum (BLU) seperti rumah sakit. Tidak nyari untung tapi boleh dapat pemasukan. Artinya dia enggak kemudian sibuk jualan saja terus mengorbankan banyak hal, kayak transmisi nilai dan segala macam. Tapi dia bisa mendapat pemasukan. Karcis masuknya pantasnya ya Rp25 ribu lah, Rp30 ribu. Sekarang orang daya belinya meningkat, kelas menengah Indonesia juga lagi tumbuh. Kayaknya kalau untuk paket pameran yang pantas, yang bagus, duit segitu rasanya masuk. Ini enggak terjadi sehingga kita juga enggak bisa pasang target UPT-nya ini.
Coba kamu naikkan target pengunjungnya, bikin program apa, segala macam, gajinya sama. Kemudian dia minta jadi dapat insentif, enggak boleh. Nah, sekarang kalau kita bikin, diubah jadi BLU, cari direktur yang juga digaji menurut harga pasar, kurator, researcher, semua perangkat-perangkat yang sangat diperlukan oleh sebuah institusi museum. Sekarang kita enggak bisa bayar itu. Karena kalau begitu namanya peneliti, dia enggak boleh ada di UPT. Adanya di lembaga penelitian. Ini aturan-aturan yang Pak Jokowi bolak-balik bilang, 'Ini kan menjerat kita sendiri'. Tapi aturan tetap aturan. Kalau saya kemudian memberlakukan sistem mau-mau saya, ya salah itu pasti. Daripada ramai, saya pikir sekalian institusinya menjadi BLU dan kemudian dituntut, dikasih target. Kita enggak berharap mereka 100 persen bisa membiayai diri sendiri, tapi paling enggak ada proses signifikan dari pengeluaran mereka. Itu bisa ditampung oleh mereka sendiri.
Upaya lainnya?
Terakhir yang ketiga, mengaktifkan hubungan-hubungan antardaerah juga pusat dan daerah di bidang kebudayaan. Kita tahu sekarang festival banyak sekali. Semua kota pengin punya festival, dan enggak cuma satu. Mesti dua, mesti ada yang tiga. Banyuwangi bahkan punya 40. Bagus, walaupun kita lihat kemudian kualitasnya juga sangat bervariasi. Ada yang bagus, ada yang enggak. Hanya saja koneksi di antara satu sama lain kurang. Jadi semua orang menanggung beban besar mengorganisir acaranya sendiri. Kita lihat gejala ini, harusnya ada dong langkah kita untuk menghubungkan. Syukur nanti kalau ada hubungan antara mereka sendiri. Tapi ini perlu kerangka. Kita di sini pakai istilah, perlu platform untuk menghubungkan satu skala ini. Platform ini tempat untuk pertukaran gagasan, pertukaran orang juga. Seniman dari Bali bisa pergi ke Sumatera, Sumatera bisa ke Kalimantan dan seterusnya. Kita bisa mengembangkan kualitasnya di tingkat lokal, menambah daya tarik, karena orang nanti akan lihat tidak itu-itu saja. Fokus mungkin kepada beberapa hal tertentu, dan tahun depan itu yang kita lakukan.
Ada satu kerangka namanya Indonesiana tahun 2018 yang sifatnya akan begitu. Saya kasih gambaran ya. Di Solo nanti itu akan ada festival gamelan internasional. Tapi dia bukan sekadar pertunjukan musik. Itu macam-macam karena gamelan pengaruhnya di dunia. Gamelan itu adalah kontribusi Indonesia terhadap perkembangan musik dunia. Musisi-musisi klasik, komposer-komposer musik klasik dunia banyak dipengaruhi oleh gamelan yang dibawa ke Eropa pada abad ke-19. Dan ada banyak karyanya. Nanti tahun depan akan kita kumpulkan juga. Jadi di samping gamelan yang klasik, ada juga konser musik Barat yang dipengaruhi oleh gamelan. Juga musik gamelan ini berpengaruh ke dalam pembuatan film. Pernah nonton Battlestar Galactica enggak? Film zaman dulu banget. Tapi di film itu pakai gamelan Bali yang dibunyikan. Film Jepang utamanya ya. Banyak sekali. Film seperti Akira dan lain-lain. Itu juga mau kita hadirkan.
Jadi banyak nih. Jadi kalau kita berbicara mengenai platform dan dukungan itu, kita tidak menambah festivalnya, tapi menambah bobot dengan memasukkan elemen yang mungkin sebelumnya tidak terlalu terpikir. Kalau dulu festival gamelan hampir selalu pertunjukan musik. Siapa yang nonton? Ya mereka yang suka. Tapi kalau sekarang kita buka platformnya gamelan sebagai intinya tapi juga perkembangannya di berbagai bidang, film, musik klasik, musik Barat, musik kontemporer, musik modern. Orang seperti Bjork, banyak sekali pakai gamelan.
Nah, kita berharap yang kayak begini bisa datang. Tapi datang bukan cuma untuk saya mau pentas dibayar sekian. Bukan. Mereka datang untuk ikut merayakan kebudayaan gamelan. Ini yang terjadi, yang saya bilang, hubungan antardaerah juga mulai terjadi. Jadi enggak setiap kota, 'Saya juga ingin punya festival'. Nanti yang dibunyikan gamelan semua. Ya kenapa enggak digabung jadi satu? Pusatnya oke di Solo, kegiatannya tapi bisa di Wonogiri, di Blora, Tegal, Bali, di Ubud dan seterusnya. Jadi caranya kita menghubungkan satu sama lain ya melalui tadi. Ikatan-ikatan tertentu. Bisa tema, bisa bentuk kebudayaan atau kesenian tertentu. Bisa juga ruang, misalnya sama-sama maritim.
Itu yang kita lakukan. Jadi tiga saja. Kebijakan, institusi sama aksi-aksi. Di tiga wilayah itu kita gerak.
Soal festival tadi, supaya bisa bersinergi, apakah harus ada organisasinya sendiri?
Ya organisasinya akan terbentuk dari praktik. Saya cenderung tidak mulai dengan bikin panitia apa, segala macem. Saya baru dari Sumatera Barat ketemu dengan gubernur. Usul saya, coba kita fokus di silat. Sile kalau di Padang. Kalau di Minang, sile itu sangat kuat. Tapi sile itu tarian, tapi dia juga tradisi lisan, olahraga, dia juga banyak hal yang lain. Ini kan bisa ketemu. Berporos pada sile ini, banyak hal termasuk film. Sekarang sedang diproduksi Wiro Sableng. Ada novelnya. Nah, ada sastranya, ada filmnya, ada tari, ada musik yang terkait. Itu luas sekali. Sebetulnya belum pernah dieksplorasi secara penuh. Kita ingin sekali yang begini-begini terangkat. Jadi ada pertukaran, pertemuan, macam-macam, praktik modern, kontemporer, tradisi, ketemu semua di dalam satu kerangka. Itu yang mau kita bikin. Organisasinya tentu akan rumit. Di sini kita menyiapkan yang kita lihat intinya menjalankan semua koordinasi itu.
Ada lembaga dari Prancis datang. Saya bilang soal gamelan. 'Saya ikut', mereka bilang. Kita memanfaatkan energi-energi yang kayak begini. Mereka ada di sini, setiap tahun Prancis mendatangkan 100 seniman, budayawan ke sini. Cuma energi ini enggak terserap di kita. Selama ini mereka paling bikin di pusat kebudayaannya, yang nonton 40/50 orang. Lingkup yang sangat terbatas. Sekarang kita mau perluas. Platform ini lah yang nantinya akan bekerja untuk keperluan itu. Saya bilang soal gamelan, ya udah tinggal taruh aja di platformnya. Jadi music director yang akan datang bisa lihat kemungkinan-kemungkinan lain. Solo ada gamelan, sile ada di Minang dan seterusnya. Itu sirkulasi yang kita produksi. Di sini jadi kayak semacam terminal. Orang datang dan pergi, dia mau ke mana, bikin sesuatu.
Europalia di Brussel, Belgia sendiri bagaimana responsnya?
Bagus. Saya kira yang signifikan dari Europalia karena konteks waktu juga. Eropa nih sekarang, apalagi Eropa Barat, Brussel sendiri pernah diserang dua kali sama bom. Dengan itu jadi krisis pengungsi, Syria, Timur Tengah sampai sekarang masih masalah. Tahun lalu puncaknya, orang berenang melintasi laut. Semua kejadian-kejadian itu menimbulkan misrepresentasi di dalam masyarakat Eropa tentang orang lain, tentang orang yang datang dari luar, dari Asia, dari Arab, orang Islam. Itu sangat terpengaruh. Mereka lihat itu seperti ancaman, orang-orang yang enggak jelas dari mana datang terus tiba-tiba beranak pinak di Eropa sendiri dan timbul banyak pertanyaan. Kita datang memperlihatkan bahwa banyak stereotip di Eropa mengenai masyarakat non-Eropa itu enggak benar.
Jadi pendapat mereka tentang orang Islam itu yang dibayangkan cuma ISIS dan segala macam. Kita adalah negeri dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Bahkan boleh dibilang negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, tetapi beragam. Macam-macam. Dan terlepas dengan problem yang selama ini muncul soal politik identitas, masih bagus-bagus saja. Nah, ini yang kita mau tawarkan melalui pertunjukan-pertunjukan. Mereka heran. Awalnya kita kasih pembukaan tarian dari Cirebon, saman dan kemudian Papua. Jadi tiga yang sama sekali berbeda satu sama lain. Itu saja buat mereka sudah mencengangkan sekali. 'Kok bisa ya masyarakat yang begitu berbeda satu sama lain tapi ternyata bisa hidup berdampingan?'
Sementara mereka sekarang negerinya kecil-kecil, tapi ketakutannya terhadap orang lain begitu besar. Jadi kembali dengan kita. Kita ini suatu bukti bahwa persatuan dengan keragaman itu sebenarnya mungkin. Tapi yang lain-lain sih, tontonan bagus. Yang tengah itu pameran Anchestors sudah ada 900 grup yang memesan. Jadi nanti setiap hari isunya rombongan orang yang ada guide-nya di samping penonton yang sifatnya individual. Pertunjukan-pertunjukan kita laku di Polandia. Bagus, besar. Ada Iwan Gunawan, Eko Suprianto. Tari juga sukses besar.
Yang paling ujung itu art kita tentang tradisi maritim kita. Ada mbahnya pinisi. Kalau pinisi kan kreasi baru. Ini kapal namanya padewakang. Tradisi pembuatan kapal di Sulawesi Selatan yang sangat terkenal. Karena biasanya kapal itu dibikin rangkanya dulu baru kulitnya. Ini enggak. Kulitnya dibikin dulu baru rangkanya. Itu sebagai teknologi juga mencengangkan karena enggak pakai paku. Jadi semuanya cuma pasak kayu dipanaskan. Ukurannya juga pakai tubuh, enggak pakai meteran. Kapal-kapal ini pernah berlayar ratusan tahun lalu sampai ke Eropa sana. Jadi buat mereka itu juga mencengangkan. Ternyata kita punya tingkat pengetahuan, teknologi yang enggak kurang-kurang di masa lalu.
Sekarang kapal padewakang masih dibuat di Sulawesi Selatan?
Masih dibuat. Ya, tentu kalah populer dengan kapalnya Bu Susi yang baru-baru ini. Tapi mereka masih membuat.
Sejauh ini promosi kebudayaan ke luar negeri bagaimana?
Ya, cukup banyak ya. Pembagian kerjanya begini, jadi kita misalnya pakai hulu hilir ya. Hulunya di sini, pembinaan, melatih orang, membuat institusi dan seterusnya. Pemanfaatan, pengolahan ada kerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif. Mereka yang bikin pentas-pentas, bikin festival, ini itu. Kemudian produksinya di pariwisata. Jadi kalau mau tanya sejauh mana pengenalan orang dengan kita ini, di pariwisata tempatnya. Yang saya tahu, dari data yang tersedia, dari segi brand, kalau pakai branding, Indonesia tinggi sekali. Statistiknya juga bilang, 60 persen dari orang yang ke Indonesia ini karena alasan budaya. Dia ingin lihat itu. Ya, lihat alam nomor dua. Tapi yang utama itu budaya.
Belum lama ini sempat heboh soal kuda lumping yang dijadikan kostum nasional Malaysia. Kalau soal Malaysia yang sering mengklaim budaya Indonesia, Anda melihatnya bagaimana?
Ya itu isu yang tidak mudah. Tapi di posisi saya begini, pertama sebetulnya itu sulit untuk mengatakan kepemilikan di bidang kebudayaan. Karena yang membuat itu kan orang Jawa yang ada di sana. Dibawa kebudayaannya. Masa kita mau ngelarang? Kalau di luar batas Indonesia enggak boleh menjalankan kebudayaan. Enggak mungkin ya. Saya tidak melihatnya secara ketat. Problem-nya ada di kita. Masuk masalah kedua. Masalah keduanya adalah, kalau betul-betul begitu hebatnya perasaan terhadap warisan-warisannya itu, ya mari kita sama-sama menjalankan. Kita di sini misalnya, melakukan penetapan warisan budaya. Baik yang sifatnya cagar budaya, gedung, candi, situs-situs dan segala macam, maupun yang sifatnya takbenda, intangible. Apakah itu kain tradisional. Itu kita anggap semuanya intangible culture heritage. Termasuk praktik-praktik, seperti tarian dan seterusnya. Kantor ini punya tugas untuk menetapkan.
Sekarang sejak 2013-2017 sudah ada 594 warisan budaya takbenda yang ditetapkan. Cuma kan enggak bisa berhenti di sini. Kalau penetapan selalu kita maknai juga sebagai perlindungan terhadap kebudayaan kita. Ini adalah warisan budaya Nusantara yang muncul dari daerah tertentu dan seterusnya, paling tidak kita sudah membuat klaim. Itu adalah langkah-langkah yang kita ambil untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan orang lain dengan mengabaikan sejarah dan bilang pokoknya itu ranah kami. Tapi langkah yang kita ambil akhirnya ya sudah kita daftarkan bersama-sama deh sama Malaysia. Pantun yang pertama kali kita bikin. Dan sambutannya baik. Saya kira itu juga jalan keluar ya. Karena dalam proses itu Malaysia juga lihat, bahwa semuanya memang berasal dari sini. Proses itu kan juga harus ada penjelasan ya. Pantun berasal dari mana, dipraktikkan segala macam. Semua orang yang membaca dokumen itu juga langsung bisa lihat. Itu salah satu caranya. Daripada kita terus ribut soal punya kita dicuri. Perlindungan dengan penetapan dibuat narasinya, informasinya diberikan kepada publik. Sehingga mereka tahu, enggak merasa resah bahwa orang lain juga menggunakan.
Sama juga kayak musik Barat di sini. Di sini kan kita juga ngikuti aja semuanya, tapi band-band Barat juga enggak keberatan. Malah menganggap itu sebagai jalan dia untuk bisa memengaruhi kebudayaan kita. Harusnya kita juga bisa berpikiran yang sama. Yang jadi soal adalah kita kemudian muncul hak eksklusif terhadap kebudayaan tertentu yang diklaim negara lain. Itu masalah. Jadi seolah-olah setelah dia mengumumkan itu terus kita enggak boleh mengembangkan. Nah, itu masalah. Tapi sampai sekarang sih belum terjadi. Malaysia cuma bilang aja. Karena dia punya apa coba? Yang katakanlah dia punya. Setiap ada acara-acara kesenian yang kita lihat yang tarinya itu-itu saja.
Apa saja Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang sedang atau akan didaftarkan ke UNESCO?
Tahun ini pantun terus kapal pinisi. Terus ada Memory of The World. Itu kategori lain dalam UNESCO. Kita masukkan panji. Jadi dokumentasi, arsip mengenai panji. Itu biasanya seperti yang didaftarkan arsip-arsip mengenai sejarah kebudayaan.
Apakah ini salah satu upaya supaya kebudayaan kita tidak diklaim negara lain?
Pendaftaran itu adalah salah satu langkah untuk melindungi. Ketika kita mendaftarkan, terus ada pengakuan internasional, dalam hal ini UNESCO bahwa inilah kebudayaan yang berasal dari Indonesia, maka dengan sendirinya ada pengamanan lah.
Apakah pemerintah membayar?
Enggak. Ya keluar duit untuk pergi ke sananya, tapi kita enggak ada kemudian bayar iuran. Itu enggak ada.
Sama atau tidak dengan mematenkan bahwa suatu kebudayaan ini punya Indonesia?
Lain. Paten itu isu yang sama sekali berbeda karena terkait dengan hak cipta dan seterusnya. Kalau ini kan enggak. Cuma bilang bahwa asal usulnya dari sini. Jadi orang lain tetap boleh menggunakan. Orang lain boleh bikin batik, tapi jangan mengklaim misalnya batik punya mereka, dan kedua, kan sekarang batik ada yang di-print, disablon, dicetak. Ya itu bukan batik. Batik itu bukan motif. Kita keberatan kalau mereka jualan di luar sana, tapi diklaim sebagai batik. Ya bukan. Motifnya boleh lah. Tapi bukan tekniknya.
Kalau soal lagu Indonesia Raya Tiga Stanza, apa alasannya Kemendikbud kembali menggaungkannya?
Pertama karena alasan historis ya. Memang sejarah lagu itu ya tiga stanza. Kita enggak bisa kurangi ya. Bahwa sekarang atau paling tidak selama ini orang menyanyikan hanya satu stanza, untuk alasan-alasan praktis, biar lebih simpel, dan seterusnya ya tidak masalah. Tapi bukan berarti kita mengabaikan begitu saja bahwa ada tiga stanza. Kedua, alasan pendidikan, pembangunan karakter. Kalau diperhatikan, syairnya itu luar biasa dan itu sebetulnya enggak bisa dipisah. Karena satu misalnya, dibilang, 'Marilah kita berseru Indonesia bersatu'. Baru sampai pada seruan. Yang keduanya itu, 'Marilah kita mendoa Indonesia bahagia'. Yang ketiga dibilang, 'Marilah kita berjanji Indonesia abadi'. Kalau kita baca puisi, baru sampai bait pertama. Kalau kita tidak memperkenalkan kepada anak sekolah bahwa sebetulnya ada tiga stanza, ya salah kita. Apalagi teksnya itu mengandung pesan-pesan yang luar biasa. Di situ dibilang, 'Selamatlah rakyatnya, putranya, lautnya, pulaunya, semuanya'. Jadi sudah biasa di kementerian menyanyikan.
Mulai kapan Kemendikbud mulai menyanyikan Indonesia Raya Tiga Stanza?
Tahun lalu. 28 Oktober tahun lalu itu pertama kali kita bikin acara di Taman Ismail Marzuki, di Graha Bakti. Wah, lain rasanya. Dinyanyikan sama anak-anak Gita Bahana Nusantara, yang setiap tahun nyanyi di Istana tuh. Mereka dipanggil, terus mereka main tiga stanza. Nyanyi. Pak Menteri hadir. Dibilang, 'Saya merasakan ini lain'. Dan kita berharap ke anak-anak setelah mereka mengerti syairnya, paling enggak jadi bagian dari pengetahuan mereka.
Indonesia sudah merdeka sejak lama, tapi kenapa baru sekarang Indonesia Tiga Stanza digaungkan?
Ya saya jadi dirjen juga baru hahaha. Ya saya kira selama ini sudah ada ya, organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menyanyikan itu. Tapi kurang luas. Alasannya biasanya karena alasan-alasan yang sifatnya praktis. 'Aduh kepanjangan 4,5 menit, waktu kita terbatas'. Kita tahu lah. Cuma saya bilang waktu pertama kali memperkenalkan ini, saya bicara panjang sama Pak Menteri. 'Ini harus dibunyikan'. Saya kira salah satu yang menjelaskan kenapa sekarang ini, konteks kita. Sekarang banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang Indonesia, karena perbedaan macam-macam lah. Soal-soal identitas, juga ada kegelisahan besar. Ekonominya juga lagi jalan, kehidupan sosial kita mengalami transformasi, teknologi digital muncul. Banyak anak lebih merasa sebagai warga dunia daripada warga Indonesia. Bahkan menganggap Indonesia mungkin cuma paspor atau KTP.
Jadi kita melihat kenyataan-kenyataan ini rasanya perlu sesuatu yang secara efektif bisa mengikat orang. Ketika diskusi, kita kemudian berpikir lagu ini kan efektif. Sudah dikenal, hanya saja kita perlu menambah dua stanza sehingga kandungan pesannya yang mau dibawa juga akan melekat. Kayaknya sih pilihan yang bagus karena berapa kali kita bikin acara, suasananya mengharukan. Untuk anak-anak kemudian, 'Gila ya, ternyata ada lanjutannya'. Kebanyakan komentarnya begitu.
Apakah itu cukup untuk mengembalikan rasa nasionalisme warga Indonesia?
Tentu tidak. Tapi paling tidak melalui lagu ini kita mendapat respons yang positif dan ada katakanlah resonansinya secara emosional agar orang memikirkan kembali apa yang pernah dilakukan oleh para pendiri bangsa ini. Mereka bikin lagu dan kalau kita perhatikan cerita-cerita orang di zaman itu, orang dulu itu selfless. Seperti enggak ada kepentingannya dia. Segalanya untuk kepentingan yang lebih besar. Itu yang kita defisit sekarang kan. Sekarang kan semuanya, 'Untungnya buat gue apa?'. Sementara orang dulu enggak begitu cara berpikirnya.
Tentu tidak salah ya mengutamakan kepentingan sendiri, tapi enggak juga terlalu ekstrem lalu melupakan bahwa sebetulnya ada ikatan-ikatan kolektif. Dan itu lagu dan ceritanya W.R. Soepratman itu akan sangat membantu. Orang bisa lihat, hidupnya susah tapi mikirin lagu kebangsaan. Makan aja enggak. Banyak dalam perjalanan republik kita hal besar yang kemudian dipakai sebagai simbol, tali pengikat, lahir dari kesederhanaan semacam itu. Itu buat saya pesan yang kuat sekali untuk mengembalikan paling enggak ingatan. Jadi kalau misalnya ada orang begitu, enggak dianggap aneh.
Nantinya siapa yang akan diwajibkan untuk menyanyikan Indonesia Raya Tiga Stanza?
Kita sudah bikin surat edaran. Jadi setiap hari Senin akan ada upacara bendera dan saat upacara itu, tiga stanza itu yang dinyanyikan. Tapi surat edaran ya. Sifatnya bukan perintah. Kalau perintah harus peraturan menteri. Surat edaran ya imbauan lah. Banyak sekolah sudah menjalankan itu sebenarnya. Mereka bilang bagus, guru-gurunya berpikir ini sesuatu yang baik.
Tapi apakah akan diwajibkan?
Wajib susah ya. Gini, lho. Itu akan sangat terkait dengan cara kita menjalankan upacara bendera. Pedoman upacaranya itu, kalau dalam lingkup negara kita, tahun 1981 terakhir dibuat. Dan itu memang match dengan satu stanza itu karena lagu kebangsaan dibunyikan bersamaan dengan naiknya bendera. Kalau 4,5 menit kasian Paskibra-nya. Jadi soal yang technical ini kita belum selesai. Saya juga mendorong, kita di sini juga diskusi. Sebetulnya enggak apa-apa, secara teknis satu stanza sambil bendera naik kan dua stanzanya bendera berkibar. Enggak apa-apa juga. Tapi harus diputuskan, ditetapkan, disosialisaikan dan itu butuh waktu. Jadi kalau di tengah ketiadaan aturan seperti itu kita memaksakan mereka, malah jadi konyol di lapangan. Nanti semuanya suka-sukanya sendiri terus malah jadi berantakan, efeknya enggak seperti yang kita harapkan.
Proses sosialisasinya sendiri seperti apa?
Jalan. Kita ada website-nya, laguindonesiaraya.id. Coba saja dicari. Itu bisa di-download semuanya di situ. Peraturan-peraturannya, teksnya, istilahnya minus one untuk dinyanyikan, jadi sekolah-sekolah langsung bisa pakai. (art)