Allianz Terima Surat Penghentian Kasus Mantan Petingginya
- Repro Google Streetview
VIVA – PT Asuransi Allianz Life Indonesia mengaku telah menerima Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus yang menimpa dua mantan petingginya. Penghentian kasus tersebut dikatakan karena tidak cukup bukti.
Selain itu, dikutip Selasa 14 November 2017 dari keterangan resminya, Allianz Life juga diketahui tidak membayar klaim kepada dua mantan pelapornya. Karena, klaim tersebut tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di dalam polis.
Seperti diketahui, penetapan status tersangka kepada mantan petinggi Allianz Life, Joachim Wessling dan Yuliana Firmansyah sempat membuat geger industri asuransi. Belakangan bahkan telah berhembus kabar bahwa kasus tersebut diduga ada kaitannya dengan praktik-praktik penipuan dalam klaim asuransi yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Allianz Life akhirnya melaporkan balik nasabahnya yang diduga melakukan hal tersebut. "Kami menduga ada modus operandi yang digunakan untuk mencurangi polis asuransi Allianz sehingga kami melaporkan beberapa nasabah ke Polda Metro Jaya," kata Head of Corp Communications Allianz Indonesia, Adrian DW, dalam pernyataan tertulisnya.
Lebih lanjut Adrian menjelaskan, upaya hukum itu dilakukannya semata-mata untuk mempertahankan hak dan citra Allianz Life. Serta melindungi kepentingan para nasabah, pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono mengatakan, pelapor atas nama Irfanius Al Gadri dan Indah Goena Nanda telah mencabut laporannya terhadap Allianz, Senin, 6 November 2017.
Argo mengatakan, upaya Allianz melaporkan balik lantaran menduga adanya klaim palsu dari nasabah akan didalami lebih lanjut oleh pihak Kepolisian. “Soal kelanjutan kita masih lakukan analisa dan evaluasi ini demi kasus itu ke depannya seperti apa,” jelas Argo.
Baca juga: Pelapor Kasus Allianz Cabut Laporan di Polda Metro
Menanggapi kasus ini pakar asuransi Hotbonar Sinaga berpendapat, keputusan Polisi untuk menghentikan penyidikan atas kasus ini patut diapresiasi. Karena, substansi masalahnya memang berada di ranah hukum perdata.
Penggunaan UU Perlindungan Konsumen yang mengacu pada pidana dinilai kurang tepat. Menurut dia, ke depannya kasus semacam ini harus bisa diselesaikan di Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI).
"BMAI sudah terbiasa memutuskan sengketa seperti ini, karena BMAI dibuat oleh Dewan Asuransi Indonesia,” jelas Hotbonar.
Ia menambahkan bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak cocok untuk industri jasa. Walaupun memang ada poin-poin mengenai industri jasa di dalamnya, tapi tetap saja tidak relevan untuk diterapkan. Apalagi menggunakan UU tersebut untuk mempidanakan pihak tertentu.
“Saya mendengar bahwa DPR akan mengamandemen UU perlindungan konsumen tersebut, karena sudah 20 tahun UU tersebut tidak diamandenen. Saya mendukung upaya DPR untuk melakukan itu, karena tidak cocok untuk kondisi saat ini,” tambahnya.
Ia juga menegaskan bawah citra industri asuransi harus dipulihkan dan dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pihak dalam industri, tidak bisa sendiri-sendiri.
Sementara itu. Direktur Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan bahwa di dalam industri dengan regulasi yang sangat ketat pun seperti asuransi, upaya 'nakal' nasabah masih berisiko terjadi.
“Tidak salah jika perusahaan asuransi berhati-hati dalam mencairkan sebuah klaim. Terutama, jika terjadi klaim-klaim yang tidak wajar atau mencurigakan,” jelas Togar.
Senada dengan Togar, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo juga mengatakan bahwa model penipuan di asuransi banyak macamnya dan tidak hanya terjadi di industri asuransi jiwa. Beberapa indikasi penipuan di asuransi yang dilakukan konsumen diantaranya, adanya ketidaksesuaian anatara profil keuangan nasabah dengan nilai asuransi yang diminta.
Modusnya, membeli polis asuransi pada beberapa tempat sekaligus dengan jumlah besar dengan profil keuangan yang tidak sesuai, serta adanya riwayat pribadi dan penyakit calon nasabah yang relevan tidak diungkapkan kepada asuransi.
"Modusnya mengajukan klaim penyakit yang tidak diketahui sebelumnya. Masih terjadi. Tapi tidak ada data resmi dari Polri maupun Asosiasi," jelas Irvan.