BBM Satu Harga, Pengecer Ilegal Bakal Diberdayakan
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menugaskan PT Pertamina sebagai motor penggerak penyaluran Bahan Bakar Minyak satu harga. Tak main-main, perusahaan pelat merah di sektor migas itu telah menggelontorkan dana sebesar Rp800 miliar tahun ini, dengan total yang mencapai Rp3 triliun hingga 2019.
Senior Vice President (SVP) Fuel Marketing & Distribution PT Pertamina, Gigih Wahyu Hari Irianto mengungkapkan, sebanyak 150 titik di seluruh pelosok Indonesia pun menjadi sasaran kebijakan ini. Khususnya di wilayah Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Saat ini, sudah terwujud setidaknya 26 titik dari target sebanyak 54 titik pada 2017.
"Program BBM satu harga kami berjalan terus, sesuai program yang telah digariskan pemerintah. Target 54 lembaga penyalur di wilayah 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Insya Allah tercapai di akhir tahun ini dan di 2018 direncanakan tambahan 50 lagi," ujar Gigih kepada VIVA.co.id, Selasa 31 Oktober 2017.
Namun, implementasi kebijakan BBM satu harga tak semulus yang dibayangkan. Setelah didistribusikan, dalam hitungan jam BBM di agen resmi disebut ludes diborong oleh para pengecer. Sementara itu, petugas tidak bisa berbuat banyak atas fenomena tersebut.
"Akibatnya, saat di agen resmi stoknya habis karena diborong, tetapi stok BBM di pengecer tidak resmi malah melimpah. Dan, harganya jauh lebih tinggi dibanding dengan harga di agen resmi," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi kepada VIVA.co.id.
Menurut Tulus, dana puluhan miliar ludes dalam sekejap dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Padahal, jika dilihat dari sisi regulasi dalam Undang-undang Migas, penjualan minyak dan gas bumi harus mengantongi izin dari pemerintah.
"Tanpa izin resmi, pengecer BBM bisa dikategorikan sebagai pengecer ilegal. Namun, pada tataran empiris bukan perkara gampang untuk melakukan penegakan hukum pada pengecer ilegal tersebut. Selain mereka sudah menguasai pasar, juga letak geografis yang jauh dan luasnya area," kata dia.Â
Menurut dia, jika hanya mengandalkan keberadaan agen resmi, jarak tempuh bagi konsumen ke agen resmi terlalu jauh. Keberadaan penyalur tidak resmi, praktis masih dibutuhkan. Pada titik inilah kebijakan satu harga BBM bisa kita katakan belum 100 persen berhasil.
"Tetapi, juga tidak fair, jika pengawasannya dibebankan kepada PT Pertamina. Rantai distribusi Pertamina tak mampu mengawasi sampai ke level bawah," ujar dia.
Peran BPH MigasÂ
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, tugas pengawasan distribusi BBM adalah kewenangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). BPH Migas disebut harus bersinergi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.Â
"Karena, Pemda punya andil besar untuk menjaga kebijakan satu harga, agar berjalan efektif dan fair. Aparat pemda tahu persis, siapa saja pemainnya dan berapa jumlah pengecernya," kata Tulus.
Senada dengan Tulus, Gigih mengatakan bahwa pengecer ilegal ini adalah kewenangan dari BPH Migas untuk mengawasinya. Namun, diakui, butuh solusi dan jurus yang tepat untuk memberdayakan bukan malah memberantas pengecer ilegal tersebut.
"Dari sudut pandang Pertamina sebagai BUMN yang mengemban misi sosial selain komersial, fenomena ini patut dicarikan solusinya, karena ternyata pengecer BBM ini ada bukan hanya di wilayah pedalaman, namun juga di tengah kota metropolitan seperti di DKI ini," ujar Gigih.
Bahkan, sambung Gigih, beberapa pemda telah memberikan izin usaha eceran ini melalui Peraturan Daerah (Perda). Karena itu perlu ada kepastian hukum yang berpihak pada pengusaha kecil dan seimbang dengan jaminan kualitas, harga yang wajar dan faktor keselamatan atau perlindungan terhadap lingkungan.Â
"Intinya mereka rakyat kita sendiri, jangan diperlakukan seperti kriminal, namun ditata dengan baik. Regulasi yang tidak berbiaya tinggi dan memenuhi aspek tersebut serta tetap menghormati investor yang sudah membangun jaringan outlet standarnya seperti SPBU," tutur dia.