Cukai Naik, Bagaimana Nasib Pekerja Industri Rokok?

Ilustrasi pabrik rokok.
Sumber :

VIVA.co.id - Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, atau GAPPRI, Ismanu Soemiran mengkhawatirkan adanya masalah tenaga kerja dari dampak naiknya cukai rokok sebesar 10,04 persen yang berlaku pada Januari 2018 mendatang.

Pelaku Industri Sambut Positif Batalnya Kenaikan Cukai Rokok di 2025

Kekhawatiran munculnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sisi Sigaret Kretek Tangan (SKT). Alasannya, sektor tersebut didominasi oleh pekerja wanita.

Jika kenaikan cukai rokok sudah berlaku, pihaknya khawatir akan ada pemangkasan karyawan. Padahal, para pekerja wanita memberi kontribusi besar dalam keberlangsungan keluarga.

Pemerintahan Prabowo Diharap Beri Kepastian soal Cukai Hasil Tembakau

"Betapa peliknya industri ini. Apalagi, kalau bicara sigaret kretek tangan. Itu padat karya, 90 persen wanita," ujarnya, saat ditemui di Jakarta Selatan, Jakarta Selatan, Selasa 24 Oktober 2017.

"Kalau bicara wanita, pemerintah harus bisa melihat ini bisa menjadi income ganda bagi keluarga. Suami kerja, istri kerja. Itu dari sudut tenaga kerja," tambahnya.

Cukai Rokok 2025 Batal Naik, Pelaku Industri Harap Cukai 2026 Tidak Naik Drastis

Ia menjelaskan, penurunan jumlah tenaga kerja SKT sendiri lebih karena adanya kebijakan pemerintah yang mengatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 tentang Penanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan.

Dalam PP tersebut, negara memerintahkan pembatasan maksimal kandungan tar dan nikotin pada rokok. Hal ini pun sontak membuat produksi rokok kretek tangan berkurang drastis dan justru memproduksi rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang memiliki kandungan tar dan nikotinnya lebih rendah, sampai akhirnya muncul produk mild atau rokok putih.

GAPPRI mencatat, jumlah tenaga kerja SKT terus berkurang sejak 2012 hingga 2016, dari 195.885 orang menjadi menjadi 147.501 di 2016.

"Kalau pengurangan tenaga kerja, itu adalah jenis rokok tangan. Faktornya, penurunan ini adalah kebutuhan dari pasar sendiri, di mana terjadi pergeseran konsumen, dari rokok yang tradisional, penghisapnya tumbuh remaja-remaja yang menerima rokok putih dan sebagainya," katanya.

"Jadi, ada shifting. Kaitannya soal ada regulasi yang membuat rokok waktu itu kadar nikotinnya rendah. Maka industri menyesuaikan, dan itu waktunya 10 tahun. Setelah 10 tahun, keluar lagi namanya Mild," tambahnya.

Regulasi tersebut diproyeksi makin memberatkan produksi SKT lantaran adanya potensi kenaikan cukai yang bisa berimplikasi pada pengurangan produksi rokok, yang akhirnya bermuara pada pengurangan tenaga kerja.

"Jadi, kadang-kadang dari industri jam kerjanya dikurangi. Tapi tak bisa dihindari terjadi seperti itu. Memang jadi kemelut untuk menyelesaikan PHK-nya. Tetapi, lama-lama industri memang sudah siap, jika ada PHK, sudah disiapkan nilai besaran pesangon dan sebagainya," katanya.

Meski demikian, pihaknya berharap pemerintah tidak benar-benar membuat industri rokok mati perlahan. Sebab, masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari industri rokok itu sendiri.

"Sekarang ini antiklimaksnya adalah, industri kami peraturannya luar biasa banyak. Sampai kawasan tanpa rokok dan sebagainya. Masalahnya cukup unik, complicated dan kalau dibahas tidak ada habisnya. Ini industri kami," katanya.

Diskusi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) 
 [dok. PPKE-FEB UB]

Kenaikan Tarif Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal, Menurut Kajian Akademisi

Hasil kajian PPKE-FEB UB menyatakan, setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok ilegal.

img_title
VIVA.co.id
8 November 2024