Dampak Kenaikan Cukai Rokok yang Terlalu Besar di 2018
- ANTARA FOTO/Anis Efizudin
VIVA.co.id – Kenaikan tarif rokok secara rata-rata tertimbang sebesar 10,5 persen pada 2017, menyebabkan volume industri anjlok hingga enam persen pada semester pertama 2017. Karena itu, asosiasi pelaku ritel dan serikat pekerja meminta pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada 2018 secara eksesif.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menegaskan, kenaikan tarif cukai yang eksesif dipastikan akan mempercepat kematian industri hasil tembakau. Hal ini tentu akan memengaruhi penghidupan ratusan ribu buruh pekerja di pabrik rokok dan pelaku ritel pasar.
"Kami meminta pemerintah, dalam menentukan tingkat cukai untuk mempertimbangkan masalah ketenagakerjaan, khususnya nasib buruh rokok," ujar Sudarto dikutip dari keterangan resminya, Selasa 3 Oktober 2017.
Menurutnya, wacana pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 8,9 persen akan makin membebani produsen rokok. Karena secara otomatis akan terjadi penurunan produksi dan pasar, yang akan berimbas kepada kesejahteraan buruh.
"Jika kenaikan tarif cukai rokok terlalu tinggi seperti tahun ini, maka penjualan semakin sulit dan otomatis pabrik akan mengurangi jumlah pekerjanya." tambahnya.
Apalagi menurutnya, kehadiran produsen dan buruh rokok itu justru membantu meningkatkan kesejahteraan di tingkat pedesaan, dengan adanya penciptaan lapangan pekerjaan.
“Pemerintah harus ingat, bahwa dengan menaikkan cukai, tenaga kerja akan menjadi korban. Target tahun lalu saja tak tercapai, kok ini malah dinaikkan, saya tidak mengerti,” ujar Sudarto.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Muhammad Maulana mengungkapkan hal yang sama. Maulana mengatakan, para anggotanya turut mengandalkan nasibnya dari produk rokok.
Menurutnya, kalaupun ada kenaikan, seharusnya jangan terlalu tinggi. Kenaikan 10 persen untuk yang tahun ini saja sudah menimbulkan gangguan terhadap pedagang pasar, apalagi mengingat saat ini keadaan ekonomi tidak menentu.
“Kalau ada goncangan seperti ini rokok naik hingga 10 persen ini akan sangat berpengaruh besar kepada perdagangan” tambahnya.
Lebih lanjut dia menambahkan, wacana menaikkan tarif cukai sebesar 8,9 persen tidak tepat, karena pengaruhnya hanya akan memperburuk perdagangan ritel yang keadaanya sekarang masih lesu.
“Karena pengaruhnya bukan hanya ke rokok, yang lain-lain juga ikut naik. Makanya, usaha perdagangan ritel saja sekarang sudah lesu, apalagi ada kenaikan itu” jelas Maulana.
Berdasarkan hal tersebut, keduanya pun meminta pemerintah untuk ekstra hati-hati dalam menentukan kebijakan di industri hasil tembakau. Apalagi sektor ini menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia.