Masalah RI Bukan Suku Bunga, Tapi Lesunya Daya Beli
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id – Keputusan Bank Indonesia kembali memangkas tingkat suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate diharapkan diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Namun, meskipun suku bunga BI sudah turun hingga 175 basis poin, tingkat suku bunga kredit perbankan baru turun 115 basis poin.
Advisory Board Chairman Mandiri Institute Chatib Basri menilai, penurunan suku bunga acuan bank sentral sejak akhir 2016 memang diharapkan mampu menurunkan suku bunga kredit. Sehingga ujung-ujungnya menarik minat sektor swasta untuk lebih ekspansif. Namun, hal itu sampai saat ini belum terjadi.
“Dulu pikirannya tingkat bunga diturunin, perbankan akan pinjamkan ke riil sektor. Tapi tidak terjadi, kenapa? Karena permintaannya tidak ada. Maka undisbursed loan (kredit yang belum cair) masih tinggi,” kata Chatib, Jakarta, Selasa 26 September 2017.
Menurut mantan Menteri Keuangan tersebut, permasalahan utama yang saat ini sedang dihadapi bukanlah buku bunga kredit bank yang relatif tinggi, tapi lesunya permintaan masyarakat. Apalagi, penurunan suku bunga acuan BI di level 4,25 basis poin merupakan level terendah dalam sejarah.
“Jadi isu kita bukan di bunga, tapi dari sisi permintaan (kredit). Ngapain saya pinjam di bank, kalau kemudian saya tidak butuh ekspansi karena permintaan tidak ada? Konsumsi flat. Saya ngapain ekspansi kalau produksi mobil dan motor stok-nya masih banyak? Ini soal demand side,” tuturnya.
Meskipun keputusan BI melonggarkan kebijakan moneternya tidak memberikan dampak negatif terhadap sejumlah indikator perekonomian nasional. Chatib menggaris bawahi bahwa kebijakan tersebut tetap perlu dicermati hasilnya dalam beberapa bulan ke depan.
“Dengan bunga yang murah, orang gak akan tertarik menaruh uangnya di bank. Dia akan lari ke government bond. Sehingga nanti sumber uang yang dipinjamkan akan terpengaruh. Jadi ini yang harus dilihat,” ujarnya. (mus)