Penulis Trilogi Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi

Saya Ingin Bermanfaat untuk Orang Lain

Ahmad Fuadi Bicara Novel Anak Rantau
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Nama Ahmad Fuadi langsung meroket, sejak meluncurkan trilogi Negeri Lima Menara. Negeri Lima Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara membuat namanya melambung. Nama mantan jurnalis Tempo ini langsung masuk jajaran novelis papan atas. Apalagi, setelah salah satu novelnya difilmkan. 

Tolak Permendikbud, Badan Wakaf Pesantren Gontor Pastikan Pramuka Hukumnya Wajib

Setelah sukses dengan trilogi Negeri Lima Menara, kini jebolan Universitas Padjajaran Bandung ini merilis novel barunya berjudul Anak Rantau. Fuadi mengatakan, butuh waktu lama untuk menulis dan menyelesaikan novel ini. Mantan wartawan Voice of America ini juga mengaku butuh waktu sekitar tiga tahun untuk merampungkan novel terbarunya tersebut.

Penerima sejumlah beasiswa ini mengatakan, dia tak memilki latar belakang sastra. Tak hanya itu, pria kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1973 ini, bahkan mengaku tak suka membaca buku sastra. Saat berkunjung ke VIVA.co.id, ia buka kartu. Ia menulis novel atas dorongan istrinya.

Pondok Gontor Rayakan Idul Adha Minggu 16 Juni 2024, Ikut Pelaksanaan Haji di Makkah

Lalu, bagaimana sebenarnya proses kreatif dari pria yang hangat dan ramah ini? Demikian, penuturan Penulis Buku Fiksi Terbaik, Perpustakaan Nasional Indonesia pada 2011 ini:

Apa yang membuat Anda tertarik menulis novel?

Pernah Menempuh Pendidikan di Pesantren, Nikita Mirzani: Kemauan Sendiri

Saya sebenarnya tidak banyak membaca novel. Saya memang pernah membaca buku Lima Sekawan. Tetapi, bukan penggila novel. 

Kok bisa nulis trilogi Negeri Lima Menara?

Waktu saya habis dari Gontor, di Jakarta, saya menikah dengan gadis yang besar di Jakarta, berlatar belakang Jawa dan Minang. Dia anak metropolitan. Kalau ngobrol dengan dia, saya bilang, kamu itu enggak tahu tentang pesantren, tentang desa. 

Saya cerita, di pondok, kita kalau ngelindur pakai bahasa Arab, bahasa Inggris. Dia ketawa dan enggak percaya. Lama-lama dia bilang, ini kan kisah menarik dan inspiring. Enggak banyak yang tahu apa isi pesantren. Selama ini, yang muncul dalam berita hanya teroris. Tetapi, pendidikan di pesantren enggak pernah orang luar yang tahu. Dia minta saya menuliskan.

Lalu?

Saya mikir, kalau ditulisin jadi apa ya? Jadi reportase, atau jadi apa? Kalau reportase kepanjangan. Kenap enggak novel aja. Kebetulan waktu itu mas Andrea Hirata lagi cerita pendidikan di Belitung dan membukakan mata orang. Kalau gitu, boleh juga saya bikin novel yang menceritakan pendidikan di pesantren.

Jadi pemicunya adalah istri?

Selain trigger dari istri, di Gontor itu moto penting yang selalu diingatkan kepada kita adalah ‘kamu jadi apa aja silakan, tetapi yang penting kamu harus bermanfaat bagi orang lain’. Carilah tempat di mana kita bisa bermanfaat dengan maksimal.

Maksudnya?

Waktu itu saya pikir, terlalu sibuk dengan urusan duniawi, tentang kerja, sekolah, hidup nyaman. Saya ingat, teman-teman saya yang lulus dari pesantren ada yang membuat pesantren dengan murid 3.000 orang itu besar banget manfaatnya. Ada yang punya uang banyak banget, dan dia membagi hartanya ke banyak orang. Nah, saya apa? Sebenarnya itu perjalanan ke dalam, apa yang dikerjakan oleh diri saya. Sekolah itu manfaatnya buat diri saya, ada duit itu hanya buat keluarga saya, enggak lebih dari itu yang bisa saya lakukan.

Lalu?

Lalu, saya ingat punya cerita dan bisa nulis. Paling enggak nulis berita. Waktu itu belum nulis novel. Dari situ ketemulah ide cerita. Ada dorongan dari istri, keinginan untuk bermanfaat lebih luas, akhirnya mulailah saya menulis. Sebenarnya, ada khawatir dari istri saya, karena saya baca novel aja jarang, tetapi mau nulis novel. 

Bagaimana Anda belajar nulis fiksi?

Ada momen, di mana istri saya tugas ke Singapura. Di sana, dia cari buku cara menulis novel. Judulnya, "How to Write a Novel". Kata istri saya, "Nih, bang saya kasih hadiah (buku panduan itu), baca dulu baru nulis."

Dia khawatir nanti jelek. Jadi, saya bikin buku benar-benar dari dasar, baca buku panduan, barulah menuliskan cerita menjadi sebuah novel.

Hasilnya?

Kritikus bilang, ini novel kok kayak laporan jurnalistik. Mungkin juga ya, saya belum cocok jadi novelis, jadinya reporter, pelapor panjang. Tetapi, saya terus belajar. Jadi, trigger-nya macam-macam, dari luar dan dari dalam.  

Bagaimana proses kreatifnya? 

Kalau menulis yang teknis dan risetnya, saya terbantu, karena pernah menjadi wartawan. Karena jadi wartawan itu terbiasa dengan riset. Jadi, risetnya lumayan.

Bisa diceritakan?

Saya pulang kampung, saya wawancara semua orang, tanya ibu saya. Waktu saya bilang mau buat novel, ibu saya bingung. Waktu itu, ibu saya masuk ke kamar dan keluar lagi membawa beberapa kertas. Ternyata, itu surat-surat saya kepada ibu selama saya di pesantren. Ibu saya menyimpan surat saya, dinomorin pula. Dan itu saya minta. Itu riset penting. Itu dokementasi pribadi. Saya baca ulang. Saya bongkar lemari tua, saya cari buku harian saya SMP. 

Apa yang Anda temukan?

Di sana masih ada buku catatan pertama. Man Jadda Wajada. Buku pelajaran beserta catatannya. Pikiran langsung terbang ke masa lalu, sehingga bisa mendeskripsikan dengan lebih baik.

Selain itu?

Saya liat foto-foto. Saya wawancara kawan-kawan saya, seperti mencari bahan reportase sih. Dari situ, saya mulai menyusun kerangka ceritanya. Waktu bikin novel Negeri 5 Menara itu saya punya perbandingan dengan buku Harry Potter, Laskar Pelangi, dan The Kite Runner. 

Berikutnya, referensi saya Harry Potter>>>

Kenapa?

Saya suka gaya bercerita Andrea Hirata. Tetapi, untuk menerapkan cerita pesantren agak susah. Jadi, referensi saya Harry Potter. Karena, pola-polanya ada kesamaan yang bisa digunakan untuk menceritakan kegiatan asrama di Gontor. 

Apa yang membuat Anda berpikir novel bisa berkontribusi kepada orang banyak?

Kan, harus melakukan apa yang paling nyaman dan paling berpotensi di bidang itu. Saya cek ke dalam, yang saya paling nikmati itu nulis. Saya pernah menulis di media. Jadi, artinya sudah ada pelatihannya yang standar. Saya punya konten cerita yang menurut istri saya  menarik.. 

Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk menyelesaikan novel Negeri 5 Menara?

Dua tahun. Mulai dari riset, wawancara hingga menyelesaikan tulisan. Waktu itu, saya masih kerja full time, jadi biasanya saya nulis habis subuh, sebelum ngantor. Pas di kantor, istirahat makan siang, nulis lagi. Malam kalau ada waktu nulis lagi. Sehari rata-rata 1-2 halaman. Jadi, setahun rata-rata bisa dapat 300-400 halaman. Tinggal diedit, diperbaiki, dua tahun jadi. 

Anda menikmati?

Karena di pesantren adalah momen yang sangat kuat dalam hidup saya, jadi menikmati sekali. Makanya, kalau banyak orang tanya gimana cara menulis yang asyik, saya jawab pilih apa yang melekat di hati kamu dan tulis dengan senang hati. 

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan dengan novel-novel tersebut?

Banyak pesan ada di dalam Negeri 5 Menara. Salah satunya adalah kerja keras, bersungguh-sungguh. Makanya ada istilah, Man Jadda Wa Jada. Kedua, jangan remehkan cita-cita kita setinggi apapun. Karena, Allah bisa mendengar apapun, sekali pun yang ada di hati kita.

Dan, Anda sudah membuktikan?

Di Gontor, antre kamar mandi itu panjang sekali. Di sana ada speaker yang nyiarin BBC, VOA, dan terdengar sampai kamar mandi. Pernah saat di kamar mandi dengerin siaran VOA. Saya kepikiran bisa enggak suatu saat kerja di sana. Dan, mimpi saya kesampaian, bisa kerja di VOA, Amerika Serikat. Yang mau saya sampaikan, impian kecil itu bisa terjadi, impian besar bisa terjadi. 

Bagaimana dengan novel Ranah 3 Warna? 

Ranah 3 Warna itu mengisahkan pas sudah kuliah. Riset lagi. Beda lagi Rantau 1 Muara, itu saat sudah kerja jadi wartawan. Masih ingat saya waktu itu datang ke Tempo bertemu mas Zulkifli. Saya izin mau duduk di ruang redaksi lagi untuk dapat feel, saat jadi wartawan. Saya ikut rapat redaksi, dengerin aja dan saya catat.

Jadi Trilogi Negeri 5 Menara pengalaman Anda pribadi atau campur fiksi?

Kalau saya ibaratkan bangunan, kerangka bangunannya adalah pengalaman saya asli. Tapi di sana kan ada jendela, pintu dan yang lain, nah itu pengembangannya. Intinya itu. Struktur utama dari satu titik ke titik lain itu pengalaman saya.

Sebelum Negeri 5 Menara apakah sudah pernah menulis novel?

Kalau novel belum pernah. Tapi dulu pernah bikin cerpen tapi nggak naik. Kalau bentuk tulisan yang lain itu buku catatan harian dan berita.

Bagaimana dengan proses kreatif Novel Anak Rantau?

Akhirnya, saya percaya menulis itu harus punya why dan nawaitu yang kuat. Negeri 5 Menara itu sangat kuat, karena ingin memberikan sesuatu yang enggak banyak yang tahu. Menulis itu paling lancar versi saya, kalau kita pernah berada di situasi itu. Risetnya cuma nambahin dikit aja karena kita pernah ada di sana.

Nah, di Anak Rantau itu pure fiksi. Saya enggak pernah mengalami langsung si tokoh Hepi. Kedekatan ceritanya ada, tetapi enggak sedekat Negeri 5 Menara. Dan, yang berbeda lagi ini bukan orang pertama naratornya. 

Maksudnya?

Buat saya, Anak Rantau ini sesuatu yang baru buat saya dari segi cara penulisan. Tema yang tidak saya alami langsung, jadi butuh riset. Dan, ini diawali karena kegelisahan melihat situasi sosial sekarang. Kalau Negeri 5 Menara itu seperti perayaan tentang sesuatu yang saya alami. Kalau Anak Rantau ini semacam otokritik.

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan di Anak Rantau? 

Banyak. Ada rekonsiliasi ke dalam dan ada rekonsiliasi ke masyarakat. Rekonsiliasi itu bsa ditegakkan dengan kata maaf. Sebuah luka yang tidak bisa dimaafkan bisa menjdi luka yang akan basah terus. Luka hati, luka sejarah. Untuk mengobati, caranya bisa dengan memaafkan dan buka lembaran baru. Kedua, alam berkembang jadi guru. Jadi, jangan batasi wawasan kita, buka seluas-luasnya pemikiran kita. Karena semua punya ilmu dan bisa menjdi ilmu kita. 

Ada kritik soal degradasi moral? 

Dalam ceritanya ada kritik. Karakter tokoh utama melihat kampung tidak seindah dulu lagi, tidak sekuat dulu lagi, tidak seaman dulu lagi. Dari segi lingkungan, lingkungan yang dulu indah sekarang sudah rusak, kena polusi. Dalam cerita lain banjir, erosi, kalau dalam cerita Anak Rantau ini danau di sana kena polusi karena tidak dijaga. Jadi, setahun rata-ra bisa dpt 300-400 halaman. Tinggal diedit, diperbaiki, dua tahun jadi. 

Selain itu?

Pesan selanjutnya soal narkoba. Narkoba masuk kampung kecil. Belakangan banyak penangkapan, saya jadi bertanya-tanya kenapa baru sekarang banyak penangkapan?  Awalnya, saya enggak percaya narkoba masuk di kampung saya (Sumatera Barat). Saya riset ke BNN (Badan Narkotika Nasinal), saya datang ke pusat rehabilitasi di sana. Tanya-tanya ke intelnya, dokter di sana. 

Ternyata, daerah saya merupakan jalur merah, jalur narkoba. Narkoba masuk lewat jalur Selat Malaka, karena garis pantainya luas. Masuk dari Aceh, kemudian turun. Ada yang melalui Riau dari Malaysia dan Singapura. Ketemunya di daerah Sumatera Barat.ffff

Selanjutnya, Trilogi Anak Rantau>>>

Berarti Anak Rantau enggak sepenuhnya fiksi? 

Kalau Trilogi Negeri 5 Menara itu berdasarkan pengalaman sendiri. Kalau ini, kerangka ceritanya dari hasil riset.

Selain novel, apakah Anda menulis tema lain?

Ada buku tentang cara mencari dan mendapatkan beasiswa, tentang traveling, dan quote kebijaksanaan di pesantren.  Ada juga buku yang ditulis bersama penulis lain.

Bisa diceritakan lahirnya Komunitas Menara?

Setelah Negeri 5 Menara terbit, ada gempa besar di Padang. Sekolah banyak yang runtuh. Saya berpikir, buku saya ini kan sebetulnya salah satu konten pentingnya soal pendidikan. Nah, sesuatu yang bisa dilakukan selain memberikan inspirasi melalui cerita, adalah memberi secara fisik. Saya bersama pembaca dan penerbit melakukan donasi. Jadi, saat itu diterbitkan buku Negeri 5 Menara edisi keempat dan yang membeli sebetulnya langsung mendonasi untuk rekonstruksi pascagempa di Padang.

Lalu?

Ada yayasan pendidikan PAUD yang runtuh kita bangun lagi. Dan, anak-anak akhirnya bisa sekolah lagi. Itu pertama yang kita lakukan untuk kontribusi berbagi ke sesama. Lalu, berpikir masak mau berhenti untuk gempa Padang. Akhirnya, kita membuat komunitas Menara yang misinya adalah untuk membantu pendidikan anak kurang mampu pre school, atau PAUD. Sekarang sudah ada lima PAUD yang didirikan komunitas Menara.

Apa benar Anda membiayai komunitas itu dari royalti buku?

Awalnya banyak dari royalti. Tapi sekarang, sudah banyak donator.

Kenapa pilihannya PAUD?

Karena, saya percaya bahwa pendidikan karakter itu baik di usia sepanjang 0-9 tahun. Membangun karakter ini penting dan banyak terlewatkan bagi yang kurang mampu.

Anda juga memperoleh banyak beasiswa, apa tipsnya?

Saya bersyukur, berada di lingkungan yang mendukung untuk bersekolah di mana saja. Kedua, saya beruntung dapat masuk Gontor yang menghargai pendidikan. Saya juga beruntung karena tinggal di Maninjau.

Tahun 1960 an, Pakde saya sudah dapat beasiswa ke Swedia. Kakek saya mungkin menanamkan nilai pendidikan yang baik, sehingga ada ruangan khusus 3x3 meter yang isinya buku semua buku. Sakarang ada lagi, adik ayah saya dapat beasiswa ke Madinah. Jadi, kebalikannya satu Barat, satu Timur. Lalu ada lagi, yang dapat beasiswa ke Jepang. Semua itu anak-anak kampung. Dan, mereka orang yang dekat dengan saya. Jadi ada yang tumbuh di hati saya bahwa semua itu mungkin, real.

Seberapa besar kontribusi pengalaman kerja di bidang jurnalistik dalam menulis novel?

Saya melatih otot menulis itu dari wartawan, karena kita selalu dikejar-kejar deadline. Enggak ada waktu berpikir, tetapi tangan harus jalan. Menurut saya, itu melatih otot otak menulis, jadi punya reflek menulis dan tidak peduli dengan lingkungan. 

Jadi dengan pengalaman itu, saya tidak perlu mencari tempat menyepi untuk menulis, harus menunggu mood untuk menulis. Kedua, tentang budaya riset. Waktu saya belajar di Tempo itu semua harus riset dan harus panjang. 

Lalu, dari mana mendapatkan sejumlah kata mutiara yang Anda selipkan dalam novel?

Itu semua saya dapatkan dari pesantren. Apa yang saya dapatkan saya tuliskan ulang. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya