95 Persen Pekerja Mogok, Aktivitas Pelabuhan JICT Lumpuh
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia, Jakarta International Container Terminal (JICT), sejak pagi tidak beroperasi seperti biasanya. Kegiatan bongkar muat pun tidak tampak di pelabuhan yang menangani hampir 70 persen ekspor-impor di Jabodetabek tersebut.
Hal tersebut terjadi karena pekerja JICT mulai melakukan mogok kerja yang rencananya akan dilakukan hingga 10 Agustus mendatang. 95 persen atau lebih dari 650 pekerja melakukan aksi mogok di area lobi kantor JICT sejak pukul 07.00 WIB.
Sekretaris Jenderal SP JICT, M Firmansyah, mengungkapkan, aksi mogok tersebut didahului penutupan pelabuhan dan sweeping oleh Direksi JICT pada pukul 03.00 WIB dini hari tadi. Padahal pekerja mulai mogok pada pukul 07.00 WIB.
Menurut dia, sempat terjadi aksi adu mulut karena Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok melarang karyawan melakukan absensi. Padahal karyawan yang mogok harus absen sesuai ketentuan Undang-undang. Serikat pekerja pun menyayangkan aksi menghalang-halangi tersebut.
"Patut dipertanyakan apa kapasitas otoritas pelabuhan melarang pekerja absen?" ujar Firmansyah dikutip dari keterangannya, Kamis 3 Agustus 2017.
Dia menjelaskan, mogok kerja dilakukan karena dampak dari Perpanjangan Kontrak JICT yang menurut BPK melanggar aturan. Uang sewa ilegal perpanjangan kontrak JICT yang telah dibayarkan sejak 2015 telah berdampak terhadap pengurangan hak pekerja sebesar 42 oersen.
Padahal pendapatan JICT meningkat 4,6 persen pada 2016 dan biaya overhead termasuk bonus tantiem direksi serta komisaris meningkat 18 persen. Pendapatan tahunan JICT sebesar Rp3,5-4 triliun diduga menjadi incaran investor asing untuk memperpanjang JICT dan melakukan politisasi gaji pekerja.
Kerugian akibat mogok kerja JICT yang rencananya dilakukan mulai tanggal 3-10 Agustus 2017 mencapai ratusan miliar rupiah. Bahkan Direksi bersedia mengganti rugi yang diakibatkan mogok kepada pengguna jasa JICT.
"Pertanyaannya kenapa direksi lebih memilih mengambil langkah dengan risiko opportunity loss yang jauh lebih besar dibanding memenuhi hak pekerja sesuai aturan," tambahnya. (one)