11 Produsen Listrik Batal Tanda Tangan Kontrak dengan PLN
- ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
VIVA.co.id – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginginkan agar harga listrik terjangkau bagi masyarakat. Itulah landasan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang mengatur harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
Dalam aturan itu diatur, tarif pembelian tenaga listrik maksimal 85 persen dari biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Aturan tersebut menyebabkan pengembang listrik swasta enggan berinvestasi membangun pembangkit listrik.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, tak membantah bahwa kurang atraktifnya tarif tersebutlah yang membuat 11 pengembang listrik swasta enggan melanjutkan tanda tangan kontrak proyek pembangkit dengan PLN hari ini.
"Tadi seperti disampaikan Pak Menteri, itu mengenai orientasi bagaimana pemerintah menyusun regulasi. Saat ini pemerintah fokus bagaimana menyediakan listrik semurah-murahnya," ujar Rida di Hotel Mulia Senayan, Rabu, 2 Agustus 2017.
Aturan harga listrik ini dibuat karena masih banyak masyarakat Indonesia tidak mampu membeli listrik. Bahkan, ketika PLN sudah berhasil membangun dan mengalirkan listrik ke wilayah tersebut.
"Karena banyak saudara kita di daerah sana yang puluhan tahun belum menikmati listrik. Kalaupun kemudian PLN masuk ke sana, belum terjamin juga mereka mampu membeli," katanya.
Ia melanjutkan, pemerintah telah meminta PLN untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir tahun 2017. Untuk itu, PLN diupayakan membeli tarif tenaga listrik dengan harga yang murah dari IPP.
"PLN harus membeli listrik dari IPP yang paling rendah, tetapi masih tetap memperhitungkan margin yang pantas. Jadi ujungnya, kebijakan yang kami susun adalah bagaimana mendorong terjadinya listrik yang murah. Rumus dasar kebijakan ini memang tidak akan pernah menyenangkan semua pihak," ujar dia.
"Kami ada saat harus memilih pihak mana, ya mohon maaf, saya perhatikan 257 juta rakyat Indonesia. Kalau ada yang belum senang, itu biasa proses bisnis ada yang sepakat, ada yang tidak," tuturnya. (ase)