Profesor Amerika: Dangdut Adalah Era Optimis
- VIVA.co.id/Bobby Agung
VIVA.co.id – Eksistensi musik Indonesia sempat mengalami pasang surut. Pada masa pemerintahan Soekarno, ia menutup jalur musik dari negara Barat dan coba mengusung nasionalisme dengan mengangkat bebunyian khas Tanah Air.
Beda cerita saat rezim Soeharto berkuasa. Melalui zamannya, Indonesia lebih terbuka bila berbicara soal asupan musik dari segala penjuru dunia.
Dalam sebuah tajuk diskusi, Jeremy Wallach, profesor dari Bowling Green State University memaparkan bagaimana identitas musik Indonesia terbentuk. Ia membeberkannya pada khalayak yang hadir.
"Mungkin dangdut itu musik yang penting karena populer di seluruh Indonesia dan merepresentasikan orang dari (kelas) bawah sampai menengah, dia underground karena mewakili sikap yang kritis. Pop juga penting di sini, karena mewakili kemodernan," ujarnya di Pacific Place, Jakarta Selatan, Kamis malam, 6 Juli 2017.
Salah satu dampak perubahan yang terasa adalah saat pergantian rezim dari orde baru ke reformasi, di mana kondisi ekonomi dan faktor lainnya melanggengkan masyarakat terhadap pembajakan. Hal itu bahkan turut memengaruhi kondisi musik, khususnya dangdut yang sebelumnya dibicarakan.
"Dangdut adalah era optimis, industrinya sangat luas. Sebelum marak pembajakan, industri masih kuat dan ada sikap optimis selama reformasi," kata Wallach.
Wallach pernah meneliti kondisi musik Indonesia pada penghujung orde baru sampai awal-awal reformasi, lantas dijadikan buku berjudul, Modern Noise, Fluid Genre: Popular Music in Indonesia, 1997-2001. Ia merangkum banyak hal tentang seni musik Tanah Air, mulai dari gerakan bawah tanah sampai populer.
"Di buku saya ada kesalahan, semua pasti begitu. Saya harap, buku ini mampu memudahkan peneliti lain untuk menggali musik dan sejarah Indonesia," tuturnya.