Uni Eropa Desak Uber Mengubah Status Perusahaan
- Reuters/Kai Pfaffenbach
VIVA.co.id – Mahkamah Uni Eropa mendesak penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi, Uber, untuk mematuhi peraturan yang mengharuskan mereka sebagai perusahaan jasa angkutan umum, bukan platform digital.
Sebab, selama ini kehadiran taksi online itu terkesan 'ilegal' karena belum diberikan payung hukum, sehingga menyebabkan persaingan usaha antara transportasi online dan konvensional tidak sehat.
Kondisi ini tentu menjadi pukulan keras bagi Uber yang ingin memperluas pangsa pasarnya di Benua Biru. Dengan demikian, Uber harus tunduk pada peraturan keselamatan dan ketenagakerjaan yang ketat.
Selama ini, Uber mengaku bertindak sebagai platform digital yang hanya menghubungkan pengemudi independen dengan penumpang.
Prancis contohnya. Pemerintah negeri Menara Eiffel ini tahun lalu memidanakan Uber lantaran melanggar regulasi.
Regulasi mewajibkan setiap kendaraan yang mengangkut penumpang dengan biaya untuk dilisensikan sebagai layanan taksi dan memiliki asuransi yang sesuai. Sementara itu, Uber tidak mengikuti aturan tersebut, sehingga dianggap ilegal.
Penasihat Senior Mahkamah Uni Eropa, Maciej Szpunar, merekomendasikan bila Uber merupakan perusahaan taksi. Menurutnya, Uber beroperasi tanpa sepengetahuan Komisi Uni Eropa dan menerapkan tarif rendah.
"Jadi, wajar saja Prancis melarang karena dianggap ilegal," kata Szpunar, seperti dikutip situs Nytimes, Selasa, 4 Juli 2017. Adapun dari pihak Uber belum memberikan tanggapan resmi soal ini.
Seperti diketahui, serikat pekerja taksi konvensional di Prancis memprotes keberadaan Uber. Akibat beroperasi secara ilegal, perusahaan dan dua eksekutifnya terkena hukuman denda hampir US$500 ribu (Rp6,5 miliar).
Hukuman ini dijatuhkan karena perusahaan teknologi yang berbasis di AS itu tidak mengikuti lisensi livery profesional, sebagai salah satu syarat sebuah perusahaan taksi bisa beroperasi. Tak hanya Prancis, Belanda, Spanyol, dan Jerman, juga menolak perusahaan taksi online itu.