Bisnis Pisang Kapik Khas Bukittinggi Berpotensi Laris Manis

Pisang Kapik, penganan khas Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA.co.id – Jika berkunjung ke kota Bukittinggi, jangan sampai terlewat jajanan tempo dulu yang akrab disebut "Pisang Kapik". Tempat jajanan ini pun mudah ditemukan, berlokasi di Pasar Atas (Pasa Ateh) dan tidak jauh dari Jam Gadang di pusat kota Bukittinggi. 

Semangat UMKM, Semangat Angkringan 66

Pisang Kapik (pisang dijepit) adalah salah satu penganan khas yang hanya ditemukan di Sumatera Barat. Cara memasaknya pun unik. Pisang jenis Tambatu ini mula-mula dibuka kulitnya lalu dibakar utuh di atas bara arang batok kelapa, lalu setelah matang, pisang dijepit dengan alatnya hingga pipih dan melebar. 

Kemudian, pisang ini pun ditaburkan dengan 'unti' yaitu bahan pelengkap makanan yang terbuat dari kelapa parut yang sudah dimasak dan dicampur dengan gula merah atau sering disebut gula jawa. Setelah ditaburkan 'Unti' di atasnya, pisang tersebut siap dihidangkan.

Analisis Motivasi Konsumen UMKM Superdecor.id untuk Strategi Pemasaran

Seorang pedagang, Yenti (56 tahun) mengaku sudah menekuni profesi sebagai penjual "Pisang Kapik" ini selama 30 tahun. Ia memanfaatkan potensi wisatawan yang berkunjung ke Jam Gadang untuk meraup sejumlah rupiah.

"Dari umua 26. Alah 30 tahun amak manggaleh di siko (Dari umur 26, sudah 30 tahun ibu jualan di sini)," kata Yenti saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Ekonomi UMKM Pasca Pandemi Covid-19

Hasil jualannya pun cukup lumayan, hingga bisa ia manfaatkan untuk menyekolahkan anaknya dan mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Namun, Yen, begitu Ia disapa enggan mengungkap berapa omzet yang ia peroleh. 

"Alhamdulillah, bisa tabali makan jo bisa biayai uang sakola anak (Alhamdulillah bisa beli makan dan bisa sekolahkan anak)," kata dia.

Meski penganan itu menjadi favorit sejumlah perantau, namun bisnis UMKM ini tampak belum diberdayakan secara maksimal oleh pemerintah setempat. Bahkan, kondisi gerobak tua yang dimiliki Yen, terlihat masih memperihatinkan meski masih bisa dibilang layak.

Yen mengaku berjualan di titik yang sama sejak 30 tahun yang lalu. Tampak belum ada niat bagi Yen untuk bisa memiliki kedai bangunan sendiri. Ia pun biasanya hanya ditemani berjualan oleh beberapa orang rekannya yang bisa berasal dari saudara atau teman sekampung.

"Biasonyo amak jua baru pukua 4 atau 5 sanjo karano siang ndak bisa manjua. Tampek disiko biasonyo dipakai untuak jalan (biasanya ibu baru jual di pukul 4 atau 5 sore, karena siang dipakai untuk jalan)," ujar dia.

Ditemui terpisah, salah seorang penikmat "Pisang Kapik", Randi dan rekannya, mengaku sering menyempatkan waktu untuk membeli pisang kapik ketika pulang ke kampung halaman. Pisang itu dihargai Rp7.000 untuk satu pisang bakar yang sudah "dijepit".

Menurutnya, pemberdayaan UMKM jajanan khas daerah seperti ini perlu dapat perhatian oleh pemerintah. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya