Saham Indosat Gonjang-ganjing Sejak Krisis Qatar
- VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto
VIVA.co.id – Krisis diplomatik yang dialami Qatar pada Senin 5 Juni 2017 ternyata ikut menekan sejumlah saham milik negara tersebut di Indonesia. Seperti saham PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT) yang tertekan pada Selasa 6 Juni 2017 dan Rabu 7 Juni 2017.
Sejak krisis diplomatik tersebut saham Indosat pada pembukaan Selasa melemah sebesar 2,62 persen ke level Rp6.500 per saham. Kemudian, pada Rabu 7 Juni 2017 saham Indosat kembali jatuh hingga Rp6.100 per saham.
Namun, pada Kamis 8 Juni 2017 Saham Indosat bisa kembali menguat di level Rp6.300 per saham dan hingga sesi I pada Jumat 9 Juni 2017 ISAT menguat sebesar Rp6,325 per saham dengan total frekuensi perdagangan saham 107 kali.
Selain itu, sebelum krisis diplomatik Qatar, Saham Indosat juga alami pelemahan sejak 24 Mei 2017 yang melemah hingga Rp6.750 per saham. Padahal pada 19 Mei 2017 saham Indosat sempat berada di level tertingginya yaitu Rp7.500 per saham.
Analis PT Binaartha Parama Sekuritas, Reza Priyambada, mengungkapkan pelemahan yang terjadi beberapa hari lalu memang karena investor merespons negatif pemutusan hubungan diplomatik Qatar oleh negara-negara Arab.
Namun, efek dari sentimen Qatar tersebut tidak berpengaruh secara signifikan bagi Indosat. Pelaku pasar, menurut Reza memang merasa khawatir bagaimana dengan investasi Qatar ke depan.
"Belum terlihat pengaruh signifikan," ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 9 Juni 2017.
Reza menjelaskan, melemahnya saham Indosat kemarin lantaran aksi jual beberapa sekuritas asing yang khawatir bagaimana dengan investasi Qatar (Ooredoo) ke depan. Namun saat ini telah kembali hijau lantaran aksi buy back setelah melemah.
Untuk itu, Reza menekankan selama Qtel masih berada di tubuh Indosat, maka nasib Indosat masih aman untuk investasi. "Seharusnya sih tidak ada ya. selama Qtel masih bertahan di ISAT," ujarnya.
Perlu diketahui, saham Indosat sejak 2008 telah dimiliki Qatar Telecom atas nama Ooredoo Asia Ple. Ltd sebesar 65 persen. Sedangkan, sisa kepemilikannya dimiliki oleh publik sebesar 20,71 persen dan Pemerintah Indonesia sebesar 14,29 persen. (ren)