Raup Puluhan Juta Rupiah dari Limbah Tanduk Kerbau
VIVA.co.id – Limbah kayu, tempurung kelapa, dan tanduk sapi atau kerbau sering kali hanya dibuang begitu saja atau digunakan untuk bahan bakar memasak.Â
Namun, di tangan Waliyo (45) warga Dusun Senggotan, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, barang-barang tersebut disulap menjadi kacamata berbagai model yang harganya mencapai jutaan rupiah.
Berbekal dari pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SKM) jurusan Kriya Kayu dan Desain Interior di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dia memulai usaha membuat kerajinan kaca mata dari bahan baku kayu, tempurung kelapa, dan tanduk kerbau atau sapi.
"Awalnya pada tahun 2011 itu ada orang Korea yang pesan kacamata dari tanduk, namun dalam perjalanannya gagal karena harganya terlalu tinggi. Lewat banyak perantara," katanya di Yogyakarta, Senin 22 Mei 2017.
Gagal mendapatkan pembeli, tak menyurutkan usaha kerajinan tersebut. Meski pada awalnya dia ditertawakan oleh para tetangganya karena tidak lazim membuat kacamata frame-nya dari kayu, bambu, tempurung kelapa, dan tanduk.
"Tapi, setelah saya ketemu para penjual kerajinan mereka tertarik dan ingin menjualkan produk kerajinan kacamata," ungkapnya.
Permintaan kacamata pun semakin meningkat dan harus mendatangkan bahan baku khususnya tanduk kerbau dari Padang dan Aceh.
"Puncaknya pada 2015 dengan pesanan dalam satu bulan mencapai 60 kacamata dengan harga Rp1 juta hingga Rp1,5 juta," ungkapnya.
Agar punya merek sendiri, kacamata karya Bendhot panggilan akrab Waliyo ini dinamai 'Terawang Eyes Wear'. Kini kacamata buatan tangan ini semakin dikenal masyarakat, meski saat ini penjualan lebih banyak melalui online atau daring.
"Saat permintaan banyak, nambah dua tenaga itu pun hanya untuk finishing. Yang lainnya tetap saya yang kerjakan karena harus tahu ilmu argonomi," ungkapnya.
Setelah 2015, permintaan kacamata memang menurun. Namun, dalam satu bulan permintaan masih sekitar 60 kacamata mulai dari bahan baku kayu hingga tanduk.
"Kalau omzet kotor setiap bulannya bisa mencapai Rp20 juta," ungkapnya.
Diakuinya, pembeli orang asing lebih banyak yang langsung ke tempat usahanya, namun tetap saja harganya lebih mahal dari pembeli lokal. "Kalau mereka pesan secara online lebih mahal diongkos kirim sampai ke negaranya," ungkapnya.
Go International
Harapan usahanya semakin maju ketika menjadi salah satu peserta Ambiente di Jerman yang merupakan pameran terbesar desainer di dunia. Tapi, beribu sayang, permintaan dalam jumlah cukup besar tidak mampu dipenuhi oleh Waliyo.
"Ada permintaan dari Italia untuk frame saja dalam satu bulan 10.000 frame. Saya tidak mampu," ungkapnya.
Persyaratan lain yang cukup berat untuk dilakukan adalah tidak boleh mencantumkan merek atau merek kacamatanya. "Ini juga sangat merugikan karena karya saya tidak diakui," ungkapnya. (art)