Jualan Jamu, Wanita Ini Raup Puluhan Juta Per Bulan
- Shintaloka Pradita Sicca/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Minum jamu, merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun, tidak semua generasi menyukai jamu tradisional yang cenderung kental akan berbagai macam tumbuhan herbal tersebut.
Adalah Nia Aryawati (42), menyudahi karirnya sebagai pekerja kantoran dan memutuskan untuk berperan aktif dalam melestarikan tradisi minum jamu tersebut. Melalui produk jamu yang diolah menjadi minuman ringan, dia berharap tradisi ini dapat terus di masyarakat.
Nia mengungkapkan, usaha produk minuman ringan Jamu yang diberi merek Nabatee ini dirintisnya pada 2010, atas dorongan sang suami. Bermodalkan Rp50 juta kala itu, kini omzet yang didapatkan per bulannya bisa mencapai Rp40 juta per bulan.
Lebih lanjut, Nia menjelaskan, meskipun rasanya lebih ringan dari jamu-jamu tradisional yang dibuat secara konvensional. Kandungan Nabatee, tetap alami dan tidak mengandung zat kimia apapun.
"Nebatee" bermakna segala sesuatu yang berasal dari rempah-rempah Indonesia, tidak mengandung zat kimia adiktif. "Saya berprinsip, usaha ini tidak hanya mencari untung saja, tetapi juga memperhatikan kesehatan konsumen dan memberdayakan kekayaan lingkungan," ujar Nia kepada VIVA.co.id pada Minggu lalu, 23 April 2017.
Nabatee memiliki beberapa varian rasa seperti beras kencur, kunyit asam, dan rosela. Dia menegaskan, meskipun dikemas seperti minuman ringan, manfaat yang dikandung Nabatee sama seperti jamu tradisional pada umumnya.
"Biasanya minuman jamu pekat. Ini tidak, lebih ringan. Sehingga, dapat menjadi healthy soft drink untuk sehabis olahraga, dengan manfaat yang sama, tetapi tidak terasa seperti jamu," ucapnya.
Dia menceritakan, Nabatee pertama kali diperdagangkan dalam bentuk gelas plastik di sebuah pusat perbelanjaan Depok. Kala itu, dia dibantu oleh tiga karyawan.
Seiring dengan pengembangan usaha, Nabatee semakin dikenal dan distribusinya pun meluas. Ia pun, mengganti kemasan ke botol plastik, kemudian kini menjadi kemasan botol kaca.
"Saya terus cari tahu caranya, agar minumannya lebih tahan lama dengan tetap mempertahankan prinsip kealamian. Saya dapat solusinya, proses filling dengan bersuhu 90 derajat celcius dan botol kaca yang dapat tahan suhu tersebut. Itu berfungsi, agar terhindar dari masuknya mikroba ke minuman," jelasnya.
Minuman ringan Nabatee
Selain berinovasi dalam komposisi racikan minuman, kemasan, pada Mei mendatang, ia akan menambah varian rasa sereh lemon untuk menyasar segmentasi pembeli anak muda, yang mana sebelumnya hanya menyentuh kalangan ibu-ibu menengah ke atas dengan wawasan kesehatan.
Harga jual per botolnya ke konsumen mulai dari Rp13-15 ribu, yang dikemas dalam botol ukuran 200 mililiter (ml) dan 330 ml. Saat ini, produk minuman ini dijual di beberapa rumah makan, toko oleh-oleh, spa, mini market lokal, dan toko organik baik offline, atau online. Total mitra dagang offlinenya ini ada sekitar 250 tersebar di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang (Jabodeta) dan Surabaya.
Promosi juga lakukan melalui media sosial Instagram, twitter (@nabatee), website nabateeindonesia.com, dan fanspage @nabatee.id. Ia pun memiliki harapan, agar "Nabatee" dapat menjadi minuman komersial merakyat seluruh nusantara. Masih ada beberapa kendala untuknya mengembangkan usaha.
"Bahan produksinya ada kendala, sehingga tidak bisa bersaing dengan harga produk yang lebih komersial dari perusahaan besar. Susahnya, UKM (usaha kecil dan menengah) itu identiknya di situ," ungkapnya.
Bahan produksi yang ia maksud, lebih kepada materil kemasan, yaitu botol dan tutup botol yang industrinya masih sangat terbatas dan mayoritas hasil produksinya sudah terserap oleh perusahaan besar. Sementara itu, untuk bahan baku rempah, ia katakan sejauh ini masih aman disuplai dari Solo dan Bogor. Kendalanya, hanya menyesuaikan cuaca.
Ia menyebutkan, pabrik botol kaca yang dibutuhkan hanya ada tiga dan terpusat di Jakarta semua. Kemudian, tutup botolnya juga demikian, bahkan hanya ada satu di Jakarta.
"Harganya mahal, juga harga botolnya tanpa tutup Rp2.700 per botol. Kalau kebutuhan sendiri, ada sekitar 3-4 ribu," sebutnya.
Lalu, ia melanjutkan bahwa mahalnya produksi itu yang sedikit membuat UKM sulit berkembang. Hal inilah, menurutnya, harus menjadi perhatian pemerintah ke depan.
"Kita produksi bayar di depan. Sedangkan mitra-mitra dagang itu kan, bayar di belakang. Jadi, cashflow-nya agak sulit. Harus pintar-pintar mengatur, agar tidak terlilit utang juga. Alhamdulillah, saya hanya sekali melibatkan bank. Saat itu, dengan bank Mandiri dalam program KUR (Kredit Usaha Rakyat)," tambahnya. (asp)