Mengintip Proses Sensor Film di Indonesia
- VIVA.co.id/Zahrotustianah
VIVA.co.id – Keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) ditujukan sebagai pelindung masyarakat dari berbagai dampak negatif dari sebuah tontonan, baik itu sinema layar lebar, tayangan televisi, maupun iklan film. Lalu, bagaimana LSF ini bekerja?
LSF akan melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film. Proses sensor ini dilakukan oleh para anggota LSF yang dibantu oleh tenaga sensor.
"Jika lulus, maka film itu akan mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang wajib dimiliki film dan iklan film yang akan diedarkan," terang Wahyu Trihartati selaku Anggota LSF kepada VIVA.co.id.
Lalu, bagaimana jika ada bagian yang tidak sesuai dengan kriteria LSF? Dalam acara Sosialisasi Penyerapan Kearifan Budaya Lokal di Riau yang digelar di Hotel Pangeran, Pekanbaru, Kamis, 20 April 2017, Monang Sinambela sebagai anggota LSF juga menjelaskan langkah yang diambil selanjutnya.
"Banyak yang pernah kita tolak atau sensor dengan revisi. Sekarang ini kita tidak lagi memotong atau menggunting seperti dahulu, tapi kita ada dialog dengan pembuat film lalu dilakukan revisi dan disensor lagi," ujarnya.
Semua tayangan yang disensor akan dipilah berdasarkan kategori usia penonton. Jika konten aman untuk anak-anak, maka kategori Semua Umur akan ditorehkan, begitu juga dengan tayangan untuk remaja dan dewasa.
Namun, pada kasus tertentu, seperti pada sinetron atau serial yang punya episode panjang, kategori ini bisa berubah.
"Seperti Anak Jalanan atau Serial Turki di sini. Misal awalnya kita pakai 13+ tapi seiring berkembangnya plot cerita, dia bisa saja menjadi dewasa, 17+. Mungkin kisah cintanya atau ada adegan kekerasan yang sudah tidak cocok lagi untuk usia di bawah," kata Monang menjelaskan.