Subsidi Silang Tarif Jalan Tol Merugikan, Ini Penjelasannya
- VIVA/Hari Fauzan
VIVA.co.id – Kebijakan PT Jasa Marga Tbk, mengintegrasikan sistem jalan tol seperti yang dilakukan pada Tol Jakarta-Tangerang-Merak sejak Minggu 9 April 2017, menuai banyak protes dari berbagai kalangan.
Dengan pemberlakuan skema subsidi silang pada tarif tol, di mana pengguna jalan tol berjarak pendek harus membayar lebih mahal dari biasanya, demi mensubsidi pengguna jarak jauh, dinilai merugikan. Sebab, dianggap sama saja dengan kenaikan tarif.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menjelaskan, semestinya Jasa Marga selaku pihak operator jalan tol tersebut, bisa memisahkan tujuan pengintegrasian sistem pembayaran, dengan dampak buruk yang dinilai tidak perlu dilakukan terkait kenaikan tarif bagi pengguna jalan tol berjarak pendek tersebut.
"Karena, kalau saya melihat aturan itu enggak betul. Harusnya, ini kan hanya perubahan sistem pembayaran dari misalnya dua gate jadi satu gate. Kalau pengelolaannya berbeda kan, juga susah memisahkan, padahal pakai teknologi sebenarnya juga bisa. Jadi, tidak harus ada kenaikan tarif sebenarnya," kata Agus saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 13 April 2017.
Agus mengatakan, selain menolak adanya kenaikan tarif bagi pengguna jalan tol berjarak pendek itu, sebenarnya yang diminta masyarakat adalah aspek transparansi pihak Jasa Marga selaku operator. Bagaimana perhitungan subsidi silang tersebut berbanding jarak tempuh, hingga menyebabkan kenaikan tarif bagi pengguna tol berjarak pendek.
"Masalah ini hanya, karena Jasa Marga tidak transparan saja (mengenai perhitungan tarif dan jarak tempuhnya). Coba dilihat, yang jauh berapa tarifnya dan yang dekat berapa. Jadi, harusnya dari jarak saja bisa dihitung. Itu kan sampai sekarang, Jasa Marga belum terbuka mengitungnya bagaimana. Karena kan, harus jelas konsumen yang kena satu pintu dan berapa jarak tempuhnya kena berapa, dan bagaimana perhitungannya," kata Agus.
Terkait dengan upaya penghilangan antrean panjang di pintu tol Karang Tengah yang dilakukan Jasa Marga, dengan memindahkan transaksi di pintu tol Cikupa (untuk yang menuju Jakarta) serta di masing-masing pintu keluar tol (untuk yang menuju ke arah Tangerang dan Merak). Agus menilai, langkah ini masih kurang efisien sebagai solusi permasalahan tersebut.
Sebab, dengan makin banyaknya volume kendaraan, hal itu justru dinilai hanya akan memindahkan antrean dari GT Karang Tengah itu, ke masing-masing pintu tol keluar yang menjadi tujuan dari para pengguna jalan tol tersebut.
Karena itu, Agus mengaku telah lama mengusulkan, agar setiap transaksi di gerbang tol sudah harus menggunakan sistem on board unit, atau OBU, agar setiap transaksi lebih efisien dan antrean panjang dapat dihindari. Hal itulah yang harus dilakukan Jasa Marga, daripada memberlakukan aturan yang malah akan menaikkan tarif sementara solusi kemacetannya malah tidak diatasi dengan optimal.
"Dari awal, saya katakan bahwa transaksi jalan tol itu seharusnya enggak ada lagi yang pakai uang tunai. Semua harus pakai kartu dan OBU. Jadi, mobil enggak perlu berhenti, jalan aja terus. Teknologi semacam itu juga akan membantu proses operatornya," kata Agus.
"Tapi persoalan kenaikan tarif inilah hal utama yang yang harus dihindari. Karena, umumnya orang itu anti sama kenaikan harga," ujarnya. (asp)