Serikat Pekerja Berharap JICT Dikelola Mandiri Lewat BUMN
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Jakarta International Container Terminal, atau JICT, dinilai sebagai aset penting negara yang strategis dan harus dipertahankan. Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan pun mengingatkan bahwa JICT harus dikelola sendiri, karena mewujudkan kedaulatan pertumbuhan ekonomi negara.
Menurut Nova, jika dikelola secara mandiri, pemasukan bagi negara juga besar. Apalagi, JICT merupakan pintu keluar masuk ekspor dan impor.
"Jika dikelola sendiri, negara melalui BUMN yang mengelola pelabuhan akan mendapatkan pemasukan sangat besar. Karena itu, masuknya pihak asing dalam pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok melalui kerja sama JICT dengan Hutchinson yang kontraknya berakhir 2019, tidak terlalu mendesak," kata Nova kepada VIVA.co.id, Rabu 12 April 2017.
Menurut Nova, kontrak tersebut ternyata diperpanjang hingga tahun 2039. Namun, yang menjadi sorotan karena hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN yang notabene belum dipenuhi Pelindo II dengan tanpa izin konsesi otoritas pelabuhan dan Menteri Perhubungan. Saat itu, Dirut Pelindo II, RJ Lino dinilai memutuskan sepihak untuk menandatangani perpanjangan kontrak dengan Hutchinson.
"RJ Lino membuat perpanjangan kontrak JICT secara sepihak, hanya dengan modal dukungan Menteri BUMN Rini Soemarno. Perpanjangan kontrak ini tabrak peraturan perundangan seperti undang-undang tentang BUMN yang menyebutkan tak ada nomenklatur tentang izin prinsip yang dikeluarkan Menteri BUMN," lanjutnya.
Dijelaskan Nova, pelanggaran juga terjadi atas Keputusan Menteri BUMN tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Selain itu, pelanggaran diduga juga terjadi atas Undang-undang tentang Pelayaran dan PP No 61/2009 tentang Pelayaran. Bahkan, sampai hari ini, saham Pelindo II di JICT belum mayoritas sesuai yang tercantum dalam izin prinsip Menteri BUMN.
"Pansus Pelindo II yang dibentuk oleh DPR tegas merekomendasikan, agar Pelindo II menghentikan kerja sama dengan Hutchinson, karena pelanggaran aturan dan potensi kerugian negara. Ini sesuai dengan laporan BPK (Badan pemeriksa Keuangan). Ini harus jadi catatan," jelasnya.
Selain masalah perpanjangan kontrak dengan JICT, Pelindo II juga melakukan pinjaman ke luar negeri (Global Bond) senilai US$1,58 miliar, atau setara Rp 21 triliun. Tujuannya untuk membiayai pembangunan Kali Baru (NPCT 1), Pelabuhan Sorong, Kijing, Tanjung Carat dan Car Terminal. Dengan ini, PT Pelindo II harus membayar bunga global per tahun, sekitar Rp1,2 triliun.
"Pembayaran utang PT Pelindo II bukan dibayar dari proyek-proyek yang dibiayai oleh Global Bond, namun diambil dari anak-anak perusahaan Pelindo II," lanjut Nova.
Terkait dasar penerbitan Global Bond, dinilai tidak jelas. Hal ini, karena proyek-proyek pelabuhan yang direncanakan dengan pinjaman belum ada yang teralisir. Sedangkan penggunaan dana pinjaman baru terpakai untuk pelunasan utang asing US$490 juta, modal kerja US$200 juta dan proyek Kalibaru US$202 juta. Sementara itu, masih tersisa senilai US$685 juta.
"Adanya rencana memutar dana global bond dalam produk produk perbankan, menjadi semakin salah kaprah. Karena, tidak sesuai dengan kompetensi usaha Pelindo II. Kami khawatir, aset bangsa ini terjual ke pihak asing, karena tidak mampu membayar hutang,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Pansus Angket Pelindo II DPR RI, Rieka Diah Pitaloka menyatakan keheranannya dengan proyek yang masih pra studi kelayakan, namun bisa menarik Global Bond yang begitu besar.
“Seharusnya, dalam menyusun Global Bond yang dananya sangat besar dilakukan secara cermat dan hati hati disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini untuk menghindari kerugian BUMN,” tutur Rieke. (asp)