Menteri Siti Marah Studi Sawit Parlemen Eropa Usik Indonesia
- Fikri Halim / VIVA.co.id
VIVA.co.id – Pada kunjungan kerja di Helsinki, Finlandia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya, mendapat berita berkenaan dengan disahkannya "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests" oleh Parlemen Eropa di Starssbourg pada 4 April 2017 lalu.
Didampingi oleh Duta Besar Indonesia untuk Finlandia, Wiwiek Setyawati Firman, Menteri LHK memberikan klarifikasi kepada pers di sela-sela jadwal penandatanganan MoU antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dengan Menteri Pertanian dan Lingkungan Hidup Finlandia, Kimmo Tiilikainen, pada Jumat, 7 April 2017 di Helsinki.
Menurut Siti, sisi terkait laporan tentang sawit itu bersifat non-binding dan akan diserahkan kepada Dewan Eropa dan Presiden Eropa untuk ditindaklanjuti.
Laporan itu itu secara khusus menyebut Indonesia yang isinya menyatakan bahwa persoalan sawit adalah persoalan besar yang dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak masyarakat adat dan lain-lain. Studi sawit akan dirilis pada pertengahan tahun ini dan Komisi Eropa akan mengadakan konferensi terkait sawit.
Sisi pandangan negatif juga menyatakan perlunya alih investasi dari sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil, serta kritisi terhadap perbankan, yang dianggap ikut mendukung.
"Bagi Indonesia isu sawit seperti ini merupakan hal yang sensitif, dan dalam kaitan lingkungan dan kehutanan, maka saya harus merespons," kata Siti dalam rilis yang diterima VIVA.co.id.
Baginya, industri sawit di Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani yang meliputi areal tanam sawit seluas 11,6 juta ha, di mana 41 persen merupakan tanaman petani atau small holders, dengan tenaga kerja dari usaha hulu hingga hilir tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja.
Catatan-catatan negatif dalam mosi tersebut, lanjutnya, merupakan penghinaan kepada Indonesia dan hal itu tidak bisa diterima. Menurutnya, tuduhan bahwa sawit adalah korupsi, sawit adalah eksploitasi pekerja anak, sawit adalah pelanggaran hak asasi manusia dan sawit menghilangkan hak masyarakat adat, semua itu tuduhan yang keji dan tidak relevan untuk saat ini.
"Pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi justru sedang melaksanakan praktik-praktik sustainable management dalam pengelolaan sawit dan industri-industri land based lainnya saat ini dan sedang diintensifkan," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sustainable development menjadi concern pemerintah saat ini. Sama seperti orientasi Parlemen Eropa dan negara-negara lain di dunia, Indonesia juga termasuk yang di depan dalam upaya implementasi Paris Agreement. Dan kita memiliki ratifikasi Paris Agreement tersebut serta berbagai ratifikasi lainnya untuk langkah-langkah sustainable development.
"Bahkan tentang masyarakat adat telah diberikan perhatian khusus oleh presiden terhadap masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat diberikan dalam hal ini atas hutan adat. Langkah ini sedang terus berlangsung. Begitu pula dalam tata kelola gambut dan landscape management secara keseluruhan, " ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, studi sawit Parlemen Eropa itu tidak lengkap dan tidak tepat dengan potret yang ada untuk Indonesia. Sebab, mosi Parlemen Eropa setidaknya telah menyinggung kedaulatan Indonesia, karena menuduh dan mengajak pihak-pihak untuk “boikot" investasi sawit dan pindah ke sunflower dan rapeseed.
"Saya kira ini langkah yang tidak pas. Jika dunia berharap Indonesia sebagai bagian penting dalam lingkungan global dan sebagai paru-paru dunia, dunia harus percaya bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya," lanjut Siti.
Siti juga menjelaskan bahwa masalah ini sedang diselesaikan dan di antaranya sudah ada hasil. Kontribusi Indonesia kepada dunia dalam hal lingkungan juga harus diakui.
Upaya-upaya untuk mengatasi kebakaran hutan, menata forest governance, upaya-upaya untuk menata tata kelola gambut, menjaga keanekaragaman hayati, menjaga habitat orang hutan, harimau, gajah dan lain-lain merupakan kontribusi Indonesia terhadap lingkungan global.
"Tentu saja tidak mudah bagi Indonesia, karena apabila dilihat Indonesia dan Eropa dari udara dari jarak ketinggian yang sama, maka rentang wilayah Indonesia itu, kira-kira rentangnya sama dengan wilayah dari Spanyol sampai ke Rusia, di sekitar negara Azerbaijan. Indonesia sangat luas. Jadi upaya dan hasil kerjanya harus diakui juga dong oleh dunia," jelasnya.
Untuk itu, Siti menyatakan, resolusi dengan nada penghinaan kepada Indonesia dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia ini tidak bisa diterima. "Indonesia akan mampu berhadapan dengan negara mana pun di dunia, mana kala kedaulatannya terusik," ujarnya.
Selanjutnya Menteri meminta kepada dunia usaha, industriawan di Indonesia agar bekerja sebagaimana mestinya, sesuai aturan Indonesia, dan tidak terpengaruh oleh resolusi Parlemen Eropa ini. Menteri juga sekaligus meminta para akademisi untuk dapat bersama-sama dalam upaya Indonesia mengatasi hal-hal seperti ini dan melihat hal-hal yang dituduhkan itu. Demikian pula Menteri mengajak civil society, para aktivis lingkungan untuk melihat subyek ini secara jernih.
Atas resolusi terkait lingkungan dan kehutanan ini, Menteri Siti Nurbaya segera melapor ke presiden setibanya di tanah air dan akan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan.
“Saya akan pelajari betul ratifikasi-ratifikasi yang terkait dan dalam implementasinya yang tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan dalam negeri Indonesia. Kepentingan nasional itulah yang nomor satu. Bila perlu ditinjau ulang saja dan kita pelajari kembali," kata Siti. (one)