- Dok. Pribadi
VIVA.co.id – Mendengar nama Doku pasti semua orang tahu layanan payment gateway itu. Namun, siapa sangka, dua di antara 15 anggota tim pendirinya adalah wanita.
Salah satunya adalah Nabilah Alsagoff. Nabilah dan satu wanita lainnya mengemudikan perusahaan yang didominasi laki-laki.
Wanita warga negara Singapura keturunan Yaman yang lama menetap di Indonesia ini telah membangun Doku selama 10 tahun dan sukses menjadikannya sebagai pemimpin di industri payment gateway.
Yang menarik, Nabilah tidak pernah memiliki dasar pendidikan teknologi maupun ekonomi. Dia adalah lulusan Murdoch University jurusan Bahasa Inggris dan Sastra Komparatif.
Nabilah merupakan sosok wanita yang unik. Dia rela bekerja siang dan malam hanya untuk menjadikan Doku pemimpin pasar.
Terbukti, tanpa investor besar, berbekal pengalaman selama 15 tahun membangun konsep marketing yang consumer centric, berkutat di program sales dan layanan IT di berbagai perusahaan serta industri berbeda, membuat ia dipercaya menjadi chief operating officer sejak 2007.
Dimulai dari 15 karyawan di kala itu, kini Nabilah membawahi sekitar 217 karyawan. Kesuksesannya ini kerap menginspirasi para anak muda yang ingin merintis usaha di bidang digital.
Dan seiring dengan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, VIVA.co.id berkesempatan mewawancarai wanita 'perkasa' ini. Berikut petikannya:
Bagaimana Anda bisa terjun ke dunia teknologi dan finansial seperti saat ini?
Ini ketidaksengajaan dalam kesempatan. Berbasis pengalaman marketing dan loyalti base, awalnya pada 2004-2005, ide utamanya adalah membangkitkan kembali nama Bali dan Indonesia, lewat portal berisi kerajinan, hotel, dan lainnya yang dijajakan. Itu membutuhkan payment services. Kala itu bank belum menyediakan payment service, sehingga kami melihat ini sebagai kesempatan untuk mengembangkannya di Indonesia.
Perusahaan ini didominasi laki-laki, bagaimana Anda mengelolanya?
Ini semua tentang 'mengambil risiko'. Tim kami tergolong kecil, jadi saya menerapkan kebijakan terbuka, mendiskusikan semua hal, mencoba mencari solusi bersama untuk menghadapi segala risiko yang ada. Itu jadi kekuatan saya sebagai seorang wanita yang bisa men-drive mereka.
Bagaimana meyakinkan semua orang jika wanita juga bisa mengerjakan pekerjaan yang didominasi laki-laki?
Sebagai wanita yang bekerja di Indonesia, saya merasa Indonesia sangat male oriented community. Tapi, saya datang ke sini dengan pikiran yang terbuka, tidak peduli dengan gender. Kami hanya membawa kemampuan kami, visi dan misi. Kami meyakinkan mereka dengan keyakinan, tidak bisa ragu-ragu.
Butuh berapa lama membuat Doku menunjukkan hasil?
Doku resminya beroperasi pada 2007, namun pengembangannya butuh dua tahun sebelum itu. Transaksi di Doku mulai terlihat meningkat pada 2010-2011 karena tipikal Indonesia, ingin melihat ada yang sukses lebih dulu, baru ikutan.
Siapa yang paling butuh layanan Doku?
Doku saat ini punya 24.000 merchant yang kesemuanya e-commerce, ditambah dengan 25 institusi bank.
Di tengah banyaknya pemain payment gateway, apa strategi Anda?
Jualan terkuat kami adalah pengalaman dan kualitas layanan. Itu yang paling penting.
Selanjutnya, Industri fintech
Satu dekade mengembangkan Doku, bagaimana Anda melihat industri fintech di Indonesia?
Sekarang sudah sangat matang dengan banyak kategori, mulai dari lending, consumer lending, microfinance, dan sejenisnya.
Apa visi Anda terkait Doku?
Kami ingin Doku menjadi perusahaan lokal yang consumer oriented. Jadi seperti Paypal atau Alipay. Walaupun kami belum bisa secanggih mereka tapi inspirasi kami ingin ke sana.
Layanan apa saja yang ditawarkan Doku?
e-Money, remittance, payment processing. Kontribusi besar masih payment processing selama 10 tahun ini, 90 persen. Remittance belum besar karena lisensi kami dapat di 2016. e-Money sudah lama tapi butuh waktu untuk develop platform. Sudah lebih dari 500.000 download aplikasi Doku.
Bagaimana dengan pencapaian kinerja layanan itu?
Payment processing kami growth-nya sampai 30 persen year on year. e-Wallet, growth-nya eksponensial. Sedangkan remittance growth-nya masih kecil.
Menurut Anda, butuh berapa tahun agar Indonesia bisa menuju less cash society?
Selama masih diberi kesempatan untuk menggunakan cash, khususnya yang denominasinya kecil, recehan, sulit untuk menuju less cash society. Segmen A dan B (kelas atas) bisa, tapi C dan D (kelas low) sulit. Padahal dua segmen bawah itu yang butuh sebenarnya, mereka yang unbankable (tak tersentuh bank). Sepertinya masih lama menuju less cash society, mungkin lima tahun lagi.
Apa resep Anda agar wanita bisa bertahan di industri yang didominasi laki-laki?
Intinya adalah menjadi lembut sekaligus tegas, memberikan arahan yang jelas tentang apa yang kita inginkan. Yang terpenting, saya tidak pernah menganggap gender sebagai sebuah masalah. (art)