Kelebihan PSO, Pelni Utang Rp64,91 Miliar ke Negara
- Antara/ Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Kementerian Perhubungan menyebut PT Pelni belum melunasi utang kepada negara sebesar Rp64,91 miliar. Data itu, merupakan temuan Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan yang disebut perlu mendapat perhatian.
Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Cris Kuntadi mengatakan, kewajiban PT Pelni kepada negara itu sama dengan 40,85 persen dari total temuan kerugian negara di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang sebesar Rp158,9 Miliar.
Kerugian negara terkait dengan PT Pelni Itu, lanjut dia, yaitu kelebihan pembayaran pekerjaan Public Service Obligation (PSO) angkutan perintis dan utang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang belum dibayar.
"Kami beri waktu hingga 20 hari ke depan, jika sampai batas waktu yang ditentukan PT Pelni belum membayar, kami rekomendasikan pada KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) untuk memasukkan PT Pelni ke dalam daftar hitam, atau black list," ujar Cris Kuntadi dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat 3 Maret 2017.
Ia pun berujar, bila telah masuk dalam daftar hitam, pihak Kemenhub juga akan mengumumkan hal tersebut di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sehingga perusahaan tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan selama dua tahun.
"Perlu menjadi perhatian bersama bahwa dengan ditetapkannya perusahaan tersebut ke dalam daftar hitam, bukan berarti kewajibannya kepada negara terhapus, perusahaan tersebut tetap harus menyetorkan nilai kelebihan pembayaran pekerjaan tersebut ke kas negara,” tutur Cris.
Untuk itu, kata dia, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan pihak PT Pelni untuk segera menyelesaikan hasil temuan Itjen yang terkait dengan kerugian negara itu.
"Saya berharap, BUMN di lingkungan Kementerian Perhubungan dapat menjadi contoh bagi perusahaan swasta nasional dalam menindaklanjuti hasil temuan, baik hasil temuan yang dilakukan oleh Itjen Kementerian Perhubungan, BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan), maupun BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," tuturnya. (asp)