Pertamina Sulit Kembangkan Biodiesel, ini Penyebabnya
- REUTERS/Darren Whiteside
VIVA.co.id – Pengembangan energi baru terbarukan dari sektor bahan bakar nabati atau biofuel, masih menemui sejumlah kendala baik secara budaya, teknis, maupun dari sisi regulasinya. Bahkan, PT Pertamina sebagai perusahaan pelat merah pun masih terganjal aturan ketika hendak mengembangkan energi biodiesel.
Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Direktorat Energi Baru dan Terbarukan dari PT Pertamina, Andianto Hidayat, mengungkapkan upaya pihaknya dalam memproduksi biodiesel masih kerap menemui sejumlah kendala dalam hal izin, terutama dari pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Pertamina sebagai perusahaan energi hanya dibolehkan membeli komponen-komponen bahan bakar dan turunannya, sesuai harga standar yang berlaku di pasar internasional. Ketika biodiesel harus dibeli Pertamina, maka kami juga harus mengacu pada harga internasional tersebut," kata Andianto dalam sebuah diskusi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin 6 Februari 2017.
Karenanya, Andianto menjelaskan bahwa ketika pertengahan 2015 harga minyak sempat anjlok di bawah US$80, maka harga beli biodisel pun merosot.
"Sehingga pada Februari 2016 itu asosiasi produsen biodiesel akhirnya mengirim surat ke Pertamina, bahwa mereka tidak bisa lagi mensuplai kami. Akhirnya bulan Agustus tidak ada suplai, dan program biosolar sempat terhenti," ujarnya.
Akibat kejadian itu, Andianto mengaku bahwa pemerintah akhirnya mengupayakan jalan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan, untuk mengutip dana-dana dari hasil keuntungan sawit guna melakukan pengembangan perkebunan, pengembangan teknologi, dan menutup selisih harga yang tercipta.
"Jadi saat ini, biodiesel itu bisa jalan dari pengumpulan dana industri sawit. Jadi pengembangan biodiesel ini secara tidak langsung juga dibantu oleh para pengusaha, bukan pemerintah," kata Andianto.
Kendala lainnya dari sisi regulasi dalam pengelolaan energi biofuel ini adalah aturan Kementerian ESDM yang menyatakan bahwa Pertamina hanya bisa membeli bahan bakar tambahan, dari produsen-produsen yang telah terdaftar di Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
"Nah, saya sendiri tidak tahu apakah ada produsen tanaman Jatropha (jarak pagar) yang terdaftar. Maka dalam hal ini, terdapat kesenjangan antara daya jual dan otorisasi yang diberikan kepada Pertamina untuk membeli. Kebijakan itu kurang holistik untuk mengatur semua rantai pasokan," katanya.
Andianto menegaskan, sebetulnya Pertamina sudah siap untuk mengembangkan energi biodiesel. Bahkan, Dirjen EBTKE juga telah menyediakan dana anggaran tambahan bagi Pertamina, untuk membuat tangki timbun.
"Tapi sampai saat ini ada aturan yang membelenggu sehingga kita tidak bisa membeli harga dengan harga supplier, dan hal itu salah satu yang menjadi kendala bagi kita dalam mengembangkan biodiesel," lanjut dia. (ren)