Begini Skema Pengenaan Pajak Tanah Tak Produktif
- Rumahku.com
VIVA.co.id – Pemerintah baru-baru ini mewacanakan paket kebijakan ekonomi berkeadilan. Salah satu pilar kebijakan itu, adalah mengenakan pajak bagi tanah tidak produktif atau nganggur. Instrumen ini diharapkan memberikan pemerataan dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat.
Ada dua skema yang diusulkan pemerintah untuk mengenakan pajak tanah nganggur. Seperti, capital gain tax (CGT) atau pajak keuntungan, dan pajak progresif, yang merupakan pengembangan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan yang dikenakan nilai pengalihan atau transaksi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menjelaskan, CGT maupun pajak progresif merupakan jenis pajak berbasis Pajak Penghasilan, yang nantinya akan dikenakan pada saat transaksi penjualan atau pengalihan. Jika diterapkan, bagaimana mekanismenya?
Untuk CGT, misalnya tanah harga perolehan Rp100 juta, dijual Rp500 juta. Berarti ada selisih Rp400 juta. Prastowo mengatakan, jumlah tersebut yang akan dipajaki. Jika tarif pajak mencapai lima persen, maka simulasinya, lima persen dikali Rp400 juta, menjadi sebesar Rp20 juta.
Sementara untuk pajak progresif, sasarannya adalah tanah yang menganggur atau kepemilikan kedua, ketiga, dan seterusnya. Apabila menilik contoh di atas dengan tarif lima persen dikali Rp500 juta, maka menjadi sebesar Rp25 juta.
Menurut Prastowo, paket kebjjakan itu memang telah mencerminkan visi pemerataan dan keadilan sosial, dengan mengedepankan reformasi agraria sebagai pilar penyangga kebijakan, dan pajak sebagai instrumen kebijakannya.
"Namun agar kebijakan ini efektif, implementasinya perlu dipikirkan, baik level regulasi (jenis pajak apa yang tepat) dan teknis (administrasinya paling mungkin dan mudah)," kata Prastowo, Jumat 3 Februari 2017.
Prastowo menyarankan, dua opsi pengenaan pajak. Yakni, pengusahaan atau lahan tidak produktif, dan penguasaan atau kepemilikan berlebih. Selain itu, bisa sekaligus diatur tanah atau bangunan yang dijual kurang dari lima tahun dianggap spekulasi, sehingga dikenai pajak yang jauh lebih tinggi.
"Ide pengenaan pajak atas lahan tidak produktif dipilih sebagai instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial. Ini merupakan paket kebijakan yang sangat bagus dan layak didukung," ujarnya. (adi)