Anggota DPR Ini Dorong Presidential Threshold Ditiadakan
VIVA.co.id – Anggota Pansus Pemilu Moh Nizar Zahro mendorong agar presidential threshold ditiadakan atau 0 persen. Hal ini menurut Nizar dengan berbagai pertimbangan.
"Landasan teoritis, inti dari demokrasi menurut Robert Dahl (1973) ada dua dimensi, yakni kontestasi dan partisipasi. Dalam aspek kontestasi tentu merujuk pada calon yang akan dipilih. Sedangkan pada aspek partisipasi merujuk pada masyarakat yang akan memilih. Dengan demikian, maka ketiadaan threshold dalam pemilihan Presiden memungkinkan tampilnya banyak figure pasangan capres-cawapres," ujar Politisi Gerindra ini di DPR, Rabu 25 Januari 2017.
Menurut Nizar yang juga Anggota Komisi V DPR RI ini, dilihat dari aspek kontestasi yang merupakan dimensi demokrasi akan lebih meriah dan persaingannya semakin ketat bila muncul banyak pasangan capres-cawapres.
"Akan terlihat juga, adu gagasan yang ditawarkan oleh para kandidat untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Gagasan yang ditawarkanpun akan lebih beragam. Aspek kontestasi yang demikian itu, dapat mendorong pertumbuhan demokrasi politik ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Selain itu, lanjut Nizar, bila tidak ada thereshold dalam pilpres sehingga muncul banyak figur capres-cawapres, maka masyarakat memiliki banyak alternatif pilihan.
"Terlebih lagi, banyaknya figur capres-cawapres sangat singkron dengan struktur masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Dengan artian, nantinya, banyaknya figur capres-cawapres yang tampil bisa menjadi cerminan dari beragamnya masyarakat Indonesia," katanya.
Nizar menambahkan, landasan konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
"Landasan konstitusional UUD ini tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk presidential threshold (PT). Terlebih lagi adanya putusan dari mahkamah konstitusi yang mengharuskan digelarnya pemilu legislatif (pileg) dan pilpres secara serentak menjadikan aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya yakni 20 persen kursi legislatif atau 25 persen suara pileg," kata Nizar.
Apalagi sebelumnya, tambah Nizar PT didasarkan pada hasil pileg yang digelar sebelum pilpres. Ketika pileg dan pilpres dilakukan secara serentak, maka PT yang akan dijadikan acuan, apakah akan di dasarkan pada pileg tahun 2014 untuk pilpres 2019? Padahal hasil pileg 2014, sudah dijadikan dasar dari PT pada pemilihan presiden yang sudah digelar pada tahun 2014 lalu.
"Selain itu, penentuan PT berdasarkan hasil pemilu sebelumnya (2014) juga kurang tepat karena dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lainnya. Karena itulah, ketiadaan PT merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak pada tahun 2019," katanya.  (webtorial)