Pertumbuhan Selular Indonesia Diklaim Masih Kecil Se-Asia
- REUTERS/Alexandre Meneghini
VIVA.co.id – Pertumbuhan telepon seluler di Indonesia diketahui telah mencapai 23 persen per tahun. Dari 338 juta perangkat seluler, rata-rata orang Indonesia memiliki lebih dari satu telepon seluler namun kebanyakan adalah mereka yang ada di Pulau Jawa. Secara rata-rata nasional itu masih tergolong sedikit, dibanding Hong Kong (lebih dari dua ponsel), Malaysia (lebih dari tiga ponsel), atau Singapura (lebih dari satu ponsel).
Ketimpangan antara masyarakat di Jawa dan luar Jawa menjadi perhatian pemerintah dan kemudian mencari cara meningkatkan infrastruktur telekomunikasi. Tak hanya mengupayakan serat optik melalui Palapa Ring, yang diketahui memakan biaya mahal, tapi yang paling mungkin adalah skema berbagi jaringan operator.
Manfaat kebijakan ini antara lain adalah ketahanan nasional, pemerataan infrastruktur telekomunikasi, penyediaan jasa akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan ini sangat tepat karena sebaran infrastruktur saat ini hanya terpusat di Jawa. Kebijakan ini tentu tidak bermanfaat maksimal apabila penggunaan infrastruktur tersebut tidak optimal (under capacity) sehingga perlu pula peningkatan jumlah telepon seluler atau ponsel pintar serta penggunaannya.
Namun, dalam praktiknya, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai, sebagian besar kerja sama atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau Jawa (80 persen) dilakukan oleh satu operator telekomunikasi. Akibatnya pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai oleh satu operator, yakni Telkomsel dengan pangsa pasar sekitar 37 persen. Di bawah Telkomsel, terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo (23 persen) dan XL Axiata (14 persen).
"Struktur pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli, diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas (sharing capacity) dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang mengatur persaingan usaha," katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat 20 Januari 2017.
Untuk mengatasi isu di dunia telekomunikasi, Agus memaparkan, beberapa solusi seperti perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yang memungkinkan berjalannya berbagi kapasitas. Selain itu, kedua peraturan tersebut dianggap tidak memadai lagi dengan perkembangan saat ini.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M.Syarkawi Rauf mengatakan institusinya akan mendorong pemerintah tentang perubahan dan revisi tarif interkoneksi, tarif off-net, frekuensi dan berbagi jaringan (network sharing). Mereka juga dikabarkan sedang melakukan kajian terhadap adanya indikasi monopoli jaringan pita lebar.