Indonesia Mau Mandiri Teknologi, Tapi Terjegal Tiga Faktor

Biang Inovasi, Buku Tentang Inovasi Karya Anak Bangsa
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Unggul Priyanto, mengungkapkan kemandirian suatu bangsa membutuhkan penguasaan teknologi dan inovasi. Tapi, sayangnya, inovasi anak bangsa masih sulit menembus industri dalam negeri. Serapan rendah inovasi anak bangsa membuat langkah Indonesia untuk mandiri teknologi terjegal.

RSI Ungkap Potensi Besar Lahan Sawit RI Jadi Penopang Kemandirian Pangan dan Energi

"Perlu usaha yang luar biasa agar inovasi karya anak bangsa bisa diterima dan diproduksi secara massal di negerinya sendiri," ujar Unggul dalam acara Media Gathering BPPT 2017, di Gedung BPPT, Rabu 18 Januari 2017.

Contohnya, kata Unggul, inovasi BPPT berupa garam farmasi yang baru saja diproduksi oleh Kimia Farma. Inovasi tersebut untuk mencapai tahap go industri butuh waktu hampir 20 tahun. Padahal, bahan baku seperti garam farmasi ini, kata dia, sangat mendasar dalam industri farmasi, khususnya untuk bahan baku infus. Kenyataannya 99 persen bahan baku obat masih diimpor dari luar. 

Cerita Perjalanan Inovasi dan Transformasi Kabupaten Lestari Menuju Kemandirian

Contoh lainnya, inovasi Automatic Dependent Survrilleillanca Broadcast (ADS-B) untuk navigasi pesawat terbang. Tahun kemarin, uji coba sistem ADS-B sudah digunakan di Bandara Ahmad Yani Semarang. 

Mirisnya, lanjut Unggul, teknologi karya anak bangsa tersebut belum bisa diproduksi massal, meski sudah berupaya menggandeng industri dalam negeri. 

CEO Mentorship: Kolaborasi Inovasi untuk Ketahanan Pangan dan Kemandirian Kesehatan Nasional

"Kendalanya adalah radar tersebut belum tersertifikasi, hingga saat ini BPPT bersama pemangku kebijakan terkait pun tengah berupaya menyusun regulasinya," kata Unggul. 

Dengan berbagai problem tersebut, Unggul berharap, untuk regulasi sertifikasi tidak disamakan dengan radar kelas internasional. Indonesia memang membutuhkan radar, yang mana dari 360 bandara hanya 36 bandara yang menggunakan radar. 

Pentingnya ADS-B itu dirasakan betul di Papua. Di kawasan paling timur Indonesia itu tidak banyak pesawat yang mendarat sehingga ADS-B buatan BPPT ini dianggap mumpuni dan sangat dibutuhkan. Dari sisi harga, ADS-B 25 persen lebih terjangkau dari radar impor. 

"Diharapkan tahun ini sertifikasi selesai, karena sudah ada industri yang akan memproduksi," tutur Unggul. 

Senang Teknologi Asing

Unggul menyimpulkan, regulasi dan kebijakan yang tidak berpihak pada pengembang industri menjadi momok bagi inovasi teknologi di Indonesia. Selain itu, sandungan lainnya belum adanya kebijakan yang berpihak pada inovasi teknologi di dalam negeri. 

Misalnya, pemberlakuan insentif pajak dan kewajiban bagi BUMN untuk mengutamakan teknologi anak bangsa jika teknologinya sudah ada di Tanah Air. 

Tercatat, serapan teknologi dan inovasi anak bangsa yang dipakai industri nasional masih di bawah 3 persen. Industri lokal lebih senang membeli teknologi asing. 

Kendala lain penyebab rendahnya serapan teknologi mandiri ialah karena rendahnya anggaran riset Indonesia. Anggaran riset Indonesia hanya 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto. Sementara berkaca pada Vietnam anggaran risetnya sudah mencapai 0,39 persen, Malaysia 1,1 persen, dan Singapura 2 persen. 

"UNESCO sendiri sudah merekomendasikan agar anggaran riset suatu negara idealnya 2 persen, " kata Unggul. 

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya