Smartfren Tertarik Ikut Lelang Sisa Frekuensi 2,3 GHz
- VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto
VIVA.co.id – Sebagai operator selular yang berada di pita frekuensi 2,3 GHz, PT Smartfren Telecom Tbk atau Smartfren menyatakan ketertarikannya untuk mengikuti lelang yang diselenggarakan oleh pemerintah. Seperti diketahui, pemerintah akan melelang 15 MHz dari total 30 MHz yang kosong pada 2,3 GHz.
"Minat lah. Masa enggak mau (sisa frekuensi) dijual, mau lah," ucap Vice President Technology Relations and Special Project Smartfren, Munir Syahda Prabowo ditemui di BSD, Tangerang Selatan, Senin 16 Januari 2017.
Namun, Smartfren masih mempelajari tentang rencana perusahaan di masa mendatang dengan penambahan frekuensi.
"Kita lihat kesempatan itu, ambil atau tidak untuk ikut lelang tersebut. Mempertimbangkannya juga. Tapi, kami tentu tertarik. Penambahan frekuensi pasti semua operator juga butuh. Tentu itu mempertimbangkan, apakah di 2,3 GHz sekarang sudah overload atau tidak," jelasnya.
Munir mengakui, sampai sekarang Kementerian Komunikasi dan Informatika belum memberikan surat pernyataan resmi untuk membuka lelang sisa pita frekuensi kosong 2,3 GHz kepada Smartfren.
"Kita belum terima surat resminya, justru kita menunggu," ujar Munir.
Sekedar informasi, pada pita frekuensi 2,3 GHz total lebar spektrum 90 MHz, 30 MHz dihuni oleh Smartfren, beberapa pemain broadband wireless access (BWA), seperti Internux (Bolt), sedangkan 30 MHz sisanya kosong.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, mengatakan kementeriannya akan melelang pita frekuensi yang kosong pada 2,1 GHz dan 2,3 GHz. Proses pelelangan tersebut dilakukan dalam waktu dekat ini.
Rudiantara menegaskan, lelang kosong pada pita frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz itu hanya ditunjukkan kepada operator yang sudah berada pada dua frekuensi tersebut. Alasannya, kata Rudiantara, operator yang sudah ada lebih butuh kapasitas lebih di kota-kota besar.
"Saya tidak menyebut jumlahnya, tapi saya alokasikan saat ini adalah untuk existing operator di 2,1 GHz dan 2,3 GHz, karena sekarang yang desperate (ngebet) itu existing operator yang sudah terlalu padat di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya yang butuh frekuensi tambahan," tutur Rudiantara beberapa waktu lalu.