Buruknya Distribusi Turut Melambungkan Harga Cabai
- ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
VIVA.co.id – Rencana Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian yang akan mengembangkan bibit cabai amfibi dinilai bukan solusi utama dalam menyelesaikan persoalan kenaikan harga cabai. Sebab, masalah utama dari harga cabai yang naik tinggi saat ini lebih pada faktor distribusi.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan pengembangan bibit cabai amfibi bisa berhasil jika dilakukan secara masif untuk memperbaiki tata budidaya cabai ke petani, terlebih cabai sangat rentan terhadap cuaca, sehingga ini bukan satu-satunya solusi saat ini.
"Menyelesaikan ini perlu kombinasi. Pertama, faktor cuaca, yang bisa diakali dengan benih tahan cuaca kering atau hujan dan tahan penyakit. Selain itu, persoalan distribusi (pasokan cabai)," ujar Said kepada VIVA.co.id pada Senin, 9 Januari 2017.
Menurutnya, pemerintah perlu pahami betul pemetaan distribusi dari sentra produksi ke daerah yang rendah atau tidak berproduksi cabai. Sehingga dapat mengarahkan jalur distribusi menjadi lebih efektif dan efisien. Saat ini Jawa dan Sumatera masih menjadi sentra produksi.
Ia mengatakan di Sumatera sendiri produksi cabai berada di wilayah Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sedangkan di Jawa, ada di Jawa Timur dan Jawa Barat.
"Sumatera Utara larinya ke Aceh dan Riau. Sumatera Barat, Sumatera Selatan larinya kalau enggak ke (sebagian) Jawa ya ke Jambi, Riau juga, sebagian ke daerah lain Sumatera. Jawa sebagian besar ke Kalimantan, sebagian ke Bali, NTT, NTB. Sulawesi yang produksi hanya 1,5-5 persen di Gorontalo, Sulawesi Utara larinya ke Maluku, Papua," jelasnya.
Menurutnya, memastikan distribusi ke wilayah yang tidak berproduksi adalah prioritas nomor satu saat ini.
Sementara harga cabai khususnya di daerah basis produksi, ia mengungkapkan rata-rata di bawah Rp100 ribu per kilogram. Di Jawa Timur harga cabai di petani berkisar Rp50 ribu per kilogram. "Bahkan cabai biasa ada di kisaran Rp15 ribu per kilogram," sebutnya.
Ia menegaskan bahwa dispasritas harga antara daerah produksi dan tidak produksi memang jauh, sehingga ia mengimbau pada para pemain pasar untuk tidak menyamaratakan harga tiap daerah menjadi tinggi.
"Jangan sama ratakan semua, jika ada harga cabai di Kalimantan Rp200 ribu per kilogram seolah-olah ini berlaku secara nasional. Ini kan akan mempengaruhi psikologi pasar dan kita tahu kalau psikologi pasar terganggu yang dapat untung pedagang, bukan petaninya. Spekulan nanti main kirim barang pelan-pelan agar harga naik," ujarnya.
Sebagai informasi, produksi cabai nasional pada 2014 disumbang dari Jawa 51 persen, Sumatera 17 persen, Sulawesi empat persen selebihnya dari NTB, Bali, Maluku dan daerah lainnya dengan persentase yang kecil. Rinciannya, total produksi cabai rawit 0,8 juta ton, cabai besar 1,075 ton.
"Secara agregat produksi relatif turun termasuk tahun ini. Karena faktor cuaca yang mengganggu produksi. Teman-teman petani di Jawa menyatakan tahun ini produksi turun 15-20 persen (dari 2014) akibat serangan hama penyakit," ucapnya.
(ren)