Mengukur Ketepatan Riset JPMorgan Soal Ekonomi RI

JP Morgan Chase Profit
Sumber :
  • Getty Images

VIVA.co.id – Hubungan harmonis antara Kementerian Keuangan dengan JPMorgan Chase Bank NA harus berakhir pahit. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutus kerja sama kedua belah pihak, karena dinilai sudah tak lagi menguntungkan.

Tokenisasi Obligasi Pertama di Indonesia Resmi Diluncurkan, Dorong Capital Inflow

Kendati demikian, JPMorgan melalui juru bicaranya memberikan sinyal akan menuntaskan permasalahan ini. Terlebih, riset kontroversial yang dipermasalahkan pemerintah pun sejatinya sekedar mengingatkan, tingginya kepemilikan asing terhadap obligasi pemerintah.

Selain itu, melonjaknya kebutuhan pembiayaan pemerintah di sektor finansial pun menjadi perhatian khusus. Belum lagi, dari sisi pendalaman pasar keuangan yang masih relatif rendah. Kondisi ini, pun dianggap rentan akan pembalikan arus modal asing.

Punya Uang Rp10 Juta? Ini 5 Pilihan Investasi yang Menguntungkan

Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede saat berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis 5 Januari 2017 mengaku instrumen yang tersedia di pasar keuangan dalam negeri masih relatif minim. Terbukti, instrumen keuangan berdenominasi valuta asing masih belum bervariasi.

“Harus diakui dan tidak dapat dipungkiri, bahwa instrumen pasar keuangan kita masih cukup dangkal. Ini terlihat dari dana repatriasi yang bergerak di instrumen yang itu-itu saja,” ungkap Josua.

Pemangkasan Suku Bunga The Fed dan BI Beri Sentimen Positif ke Pasar Saham hingga Obligasi

Josua mengatakan, kepemilikan asing terhadap obligasi negara memang tinggi. Tercatat, hingga akhir tahun lalu, kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah mencapai Rp665 triliun. Dengan instrumen yang terbatas, bukan tidak mungkin akan ada pembalikan modal.

Kekhawatiran itu, seperti yang tercantum dalam riset JPMorgan. Namun, Josua menilai bahwa hal tersebut sangat berlebihan. Sebab, pembalikan arus modal tersebut, akan tetap bergantung pada sentimen pasar. Terlebih, apa yang dikhawatirkan JPMorgan belum tentu terjadi.

“Tahun lalu, Yellen (Gubernur The Fed) di bulan April-Maret, tidak percara diri (dengan kondisi Amerika Serikat). Sehingga, tidak jadi menaikkan suku bunga. Kalau situasi ini terjadi tahun ini, apa yang dikhawatirkan JPMorgan tidak akan terjadi,” ujarnya.

Lagipula, lanjut Josua, riset yang diterbitkan JPMorgan sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi fundamental Indonesia. Misalnya, defisit transaksi berjalan yang relatif terjaga di bawah dua persen, laju inflasi yang terkendali, serta target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang jauh lebih realistis.

“Rusia dan Malaysia yang fundamentalnya kurang beruntung di upgrade. Tidak fair juga, apa yang dilakukan JPMorgan. Harusnya lebih objektif,” tegasnya. (asp)

Penulis buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki.

Robert Kiyosaki Ramal Pasar Saham dan Obligasi Ambruk di Februari 2025, Tapi Aset Ini Justru Makin Meroket

Robert Kiyosaki memperingatkan bahwa Februari 2025 akan menjadi saksi dari 'crash’ terbesar dalam sejarah, yang bisa mengguncang pasar saham dan obligasi.

img_title
VIVA.co.id
31 Januari 2025